Tarik Ulur THR untuk Mitra: Antara Keadilan Sosial dan Keberlanjutan Industri
asosiasi yang menaungi pelaku industri mobilitasmemahami semangat gotong royong dalam mendukung Mitra di Hari Raya serta menghargai perhatian
Akibatnya, banyak pekerja gig kehilangan pekerjaan dan fleksibilitas yang mereka andalkan untuk mencari penghasilan tambahan.
Agung Yudha, Direktur Eksekutif Asosiasi Mobilitas dan Pengantaran Digital Indonesia (Modantara) - asosiasi yang menaungi pelaku industri mobilitas dan pengantaran berbasis platform digital di Indonesia, memahami semangat gotong royong dalam mendukung Mitra di Hari Raya serta menghargai perhatian pemerintah terhadap Mitra platform digital.
“Selama ini, pelaku industri on-demand di Indonesia juga telah menjalankan berbagai inisiatif, antara lain bantuan modal usaha, beasiswa pendidikan bagi anak Mitra, serta pemberian paket bahan pokok dan perawatan kendaraan dengan harga khusus, sebagai bagian dari upaya untuk menjaga pendapatan Mitra. Diberlakukannya kebijakan baru terkait Bantuan Hari Raya (BHR) ini, bisa berpotensi membuat pelaku industri harus melakukan berbagai penyesuaian bisnis yang dapat berdampak pada pengurangan program kesejahteraan jangka panjang yang selama ini telah diberikan untuk Mitra,” ujarnya pada pernyataan pers (20/02/2025).
Lebih lanjut dikatakan, saat ini, sektor platform digital (aplikator) telah memberikan akses bagi jutaan individu untuk memperoleh penghasilan alternatif dengan fleksibilitas tinggi, sebuah karakteristik utama yang menjadi daya tarik industri ini.
Berdasarkan data ITB (2023), model kerja fleksibel ini bahkan telah berkontribusi pada 2?ri PDB Indonesia pada tahun 2022.
“Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa setiap kebijakan yang diterbitkan, jangan sampai justru menghambat pertumbuhan atau bahkan membatasi manfaat yang telah diberikan kepada para Mitra,” tambahnya.
Ia juga mengutip Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) BPS, Indonesia memiliki 84,2 juta pekerja informal, dengan 41,6 juta di antaranya sebagai pekerja gig. Dari jumlah tersebut, sekitar 1,8 juta atau 4,6?kerja di layanan ride-hailing seperti ojek dan taksi online.
“Itu artinya, regulasi yang kurang tepat pasti dapat berdampak pada jutaan individu yang menggantungkan hidupnya pada industri ini,” tegasnya.
Prof. Dr. Aloysius Uwiyono, S.H., M.H. (Guru Besar Hukum Perburuhan Universitas Trisakti, sebelumnya Guru Besar Hukum Perburuhan Universitas Indonesia tahun 2002-2022) juga telah melakukan kajian opini berdasarkan dasar hukum ketenagakerjaan di Indonesia terkait polemik ini dalam perspektif bertajuk “Membedah Status Kemitraan dan Polemik THR bagi Mitra Pengemudi di Indonesia” (tertanggal 25 Februari 2025). Menurutnya, regulasi yang mengarah pada pengubahan status ini bukan hanya berdampak pada industri ride-hailing, tetapi juga pada ekosistem investasi dan keberlanjutan ekonomi digital di Indonesia.
Menurut, Prof. Uwiyono (sapaannya), regulasi yang mengarah pada pengubahan status mitra ini bukan hanya berdampak pada industri ride-hailing, tetapi juga pada ekosistem investasi, keberlanjutan ekonomi digital di Indonesia, serta peluang kerja dan kesejahteraan jutaan mitra pengemudi dan keluarga mereka. Selain itu, dampaknya bisa merembet ke berbagai sektor lain yang bergantung pada layanan ride-hailing, termasuk UMKM, pariwisata, hingga logistik, yang semuanya berperan penting dalam pertumbuhan ekonomi nasional.
Ia juga menambahkan bahwa secara yuridis, hubungan antara mitra pengemudi dan perusahaan aplikasi merupakan hubungan kemitraan, bukan hubungan kerja. Hal ini dipertegas oleh Pasal 15 Ayat (1), Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pelindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor Yang digunakan Untuk Kepentingan Masyarakat, yang secara eksplisit menyebutkan bahwa hubungan antara perusahaan aplikasi dengan pengemudi adalah hubungan kemitraan.
Kemudian, muncul pertanyaan, apakah mitra platform digital ini memenuhi unsur ketenagakerjaan sehingga berhak akan THR?
Regulasi yang menjadi dasar dalam menentukan apakah suatu hubungan antara perusahaan dan individu termasuk dalam kategori hubungan kerja formal atau bukan, yaitu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja (perubahan dari UU Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020).
Secara spesifik, definisi hubungan kerja dan unsur-unsurnya dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (15) UU Ketenagakerjaan, yang menyebutkan: "Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, perintah, dan upah."
Kemudian, menilik dari dasar hukum ketenagakerjaan Indonesia di atas, sebuah hubungan kerja harus memenuhi tiga unsur utama, yaitu:
Ineu Purwadewi Serap Banyak Aspirasi saat Reses, dari Infrastruktur, Irigasi hingga Pendidikan |
![]() |
---|
Bupati Dony Berkomitmen Dorong Pelaku UMKM di Sumedang Naik Kelas |
![]() |
---|
Mobil Overheat atau Mogok Akibat Banjir, Jangan Panik! Ini Solusinya |
![]() |
---|
PLN UIP JBT Gelar Pelatihan Kesetaraan Gender, Wujud Nyata Semangat Kemerdekaan |
![]() |
---|
KSTI 2025 Dorong Hilirisasi Riset untuk Energi dan Industri |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.