Korban Kekerasan pada Perempuan dan Anak di Cirebon Bisa Manfaatkan 'Motekar' bila Bingung Melapor
Banyaknya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Cirebon tak diiringi dengan keberanian para korban untuk melapor.
Penulis: Eki Yulianto | Editor: Seli Andina Miranti
Laporan Wartawan Tribuncirebon.com, Eki Yulianto
TRIBUNJABAR.ID, CIREBON- Banyaknya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Cirebon tak diiringi dengan keberanian para korban untuk melapor.
Salah satu penyebab utama adalah sulitnya akses layanan serta minimnya pemenuhan hak-hak korban.
Hal ini disampaikan oleh Pegiat di Women Crisis Center (WCC) Mawar Balkis Cirebon, Lutfiyah Handayani, yang menyoroti kebingungan yang dialami korban dalam mencari jalur pelaporan.
“Korban kekerasan terhadap perempuan sering kali bingung harus melapor ke mana. Hal ini menjadi kendala utama,” ujar Lutfiyah saat kembali dikonfirmasi, pada Sabtu (14/12/2024).
Baca juga: Kata Atalia Soal Kasus Kekerasan Pada Anak dan Perempuan: Seperti Fenomena Gunung Es
Menurutnya, banyak korban yang merasa tidak tahu ke mana harus mengadu dan ini menyebabkan mereka memilih untuk tidak melapor.
Lutfiyah juga menambahkan, keberadaan petugas Motivator Ketahanan Keluarga (Motekar) yang disiapkan oleh pemerintah seharusnya bisa membantu para korban.
Namun, sayangnya, keberadaan dan peran Motekar belum sepenuhnya dipahami oleh masyarakat.
"Motekar sudah tersebar di setiap desa, tetapi banyak masyarakat yang belum mengetahui tugas mereka."
"Seharusnya, Motekar bisa lebih mendekatkan diri kepada masyarakat,” ucapnya.
Lebih lanjut, Lutfiyah mengungkapkan, bahwa banyak korban kekerasan yang langsung berpikir untuk melapor ke Polres, namun rasa takut sering kali membuat mereka mengurungkan niat tersebut.
Padahal, pemerintah daerah telah menyediakan layanan seperti Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) yang dapat dijadikan jalur pelaporan.
“P2TP2A ini sebenarnya disiapkan sebagai satu pintu layanan, tetapi efektivitas sosialisasi dan keaktifan Motekar masih perlu ditingkatkan,” jelas dia.
Untuk itu, Lutfiyah menekankan perlunya strategi baru dalam sosialisasi layanan pengaduan, termasuk pendekatan yang lebih intens kepada masyarakat.
Ia juga mengapresiasi adanya Peraturan Bupati (Perbup) yang mendorong desa untuk mengalokasikan dana bagi kebutuhan korban, seperti biaya visum.
“Upaya ini menunjukkan niat baik pemerintah untuk melindungi dan memenuhi hak korban kekerasan terhadap perempuan. Namun, pendekatannya perlu lebih maksimal,” katanya.
WCC Mawar Balkis berharap layanan pengaduan bisa dilengkapi dengan call center yang tersebar di berbagai tempat.
Baca juga: Kekerasan Anak Jadi Fokus Legislatif Jawa Barat, Pembinaan Perlu Ditingkatkan
Selain itu, komunitas atau organisasi yang aktif di media sosial, seperti Fatayat dan Fahmina, diharapkan bisa berfungsi sebagai media untuk melapor.
“Misalnya, korban melapor ke Fatayat atau Fahmina. Mereka nanti akan merujuk korban ke lembaga layanan yang sesuai."
"Dengan begitu, korban tidak langsung melapor ke kepolisian, tetapi mendapat pendampingan terlebih dahulu,” ujarnya.
Baru-baru ini, WCC Mawar Balkis Cirebon juga turut serta dalam kegiatan Diskusi dan Konsolidasi Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 HAKTP) yang diinisiasi oleh Komnas Perempuan, pada Jumat (13/12/2024).
Mengenal Desa Karangmalang yang Jadi Kandidat Kuat Calon Ibu Kota Cirebon Timur, Ini Istimewanya |
![]() |
---|
Perbaikan Telan Rp 229 Juta, Lapangan Desa Bungko Cirebon hanya Diurug Tanah Empang dan Becek |
![]() |
---|
Guru yang Lecehkan Murid di Cirebon Dikabarkan Ditangkap, Polisi Buka Suara: Masih Pemeriksaan Saksi |
![]() |
---|
4 Tenaga Pendamping Desa di Cirebon Jadi Tersangka Kasus Korupsi Pajak, Rugikan Negara Rp 2,9 M |
![]() |
---|
Dua Pria di Cirebon Nekat Gasak Gudang Susu Steril, Makanan dan Susu Ditinggalkan saat Kabur |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.