Liputan Khusus Tribun Jabar

Liputan Khusus: Tramadol Dijajakan Bak Kacang Goreng, Dijual Rp 30 Ribu Per Strip

Teriknya matahari terasa menyengat di Jalan KS Tubun, Tanah Abang, Jakarta Pusat pada Rabu (11/9) siang sekira pukul 12.36 WIB. 

Dok. Polres Sukabumi Kota
Barang bukti obat-obatan tanpa izin edar yang dibawa dua pemuda yang ditangkap anggota Polres Sukabumi Kota, Sabtu (9/7/2022). Obat-obatan tersebut di antaranya Tramadol HCI dan Trihexyphenidyl. 

Di Bandung, Pengedar Tramadon Ambil Untung Rp 2.000 Per Butir

TRIBUNJABAR.ID  – Teriknya matahari terasa menyengat di Jalan KS Tubun, Tanah Abang, Jakarta Pusat pada Rabu (11/9) siang sekira pukul 12.36 WIB. 

Arus lalu lintas di jalan itu tampak ramai di kedua sisi jalan, baik yang mengarah ke Pasar Tanah Abang maupun yang menuju ke arah ke Petamburan.

Siang itu tepat di depan Museum Tekstil, sejumlah orang terlihat berdiri di pinggir jalan membentuk barisan memanjang. 

Di tangan mereka tampak tumpukan obat yang dikemas di dalam plastik. Obat yang mereka jual itu adalah Tramadol, obat keras yang konsumsinya dilarang tanpa resep dokter.

Baca juga: Sering Disalahgunakan, Ini Bahaya Tramadol, Bisa Ketergantungan, Sakau, hingga Merusak Hati

Bak menjajakan kacang goreng, para penjual yang terdiri dari wanita dan laki-laki itu  menawarkan obat kepada siapapun yang lewat di sepanjang trotoar jembatan. Ada yang berdiri, ada pula yang sambil duduk di bangku lipat kecil.

Dari pantauan Tribunnews di sepanjang Jalan KS Tubun, Jalan Kebon Jati, Jalan Jembatan Tinggi, hingga kembali ke Jalan KS Tubun yang mengarah ke Petamburan, para penjual Tramadol itu tampak sangat bebas dan secara terang-terangan menjual Tramadol di sisi-sisi jalan.

Namun meski dengan santai menggenggam Tramadol di tangannya, para penjual itu tampaknya juga selektif memilih pembelinya. 

Kepada Tribunnews yang siang itu hanya mengenakan kaus, celana pendek, dan sendal jepit, mereka hanya melihat tanpa menawarkan langsung obat keras itu.

Baca juga: Wanita Asal Arjawinangun Cirebon Ditangkap Jual Tramadol, Kombes Sumarni: Mending Jualan Bakso

Setelah hampir lima menit berjalan, Tribunnews kemudian beristirahat di sebuah warung kelontong dengan menggunakan gerobak di pinggir jalan. 

Tak lama kemudian, datang seorang wanita paruh baya mengenakan baju warna cokelat dan celana pendek ikut duduk di warung kelontong itu. Wanita itu terlihat menghitung uang pecahan Rp 50 ribu dan Rp 100 ribu beberapa lembar dari tas kecil miliknya.

Tribunnews kemudian mencoba bertanya kepada ibu berambut pendek itu dengan berpura-pura mencari obat. 

Benar saja, wanita paruh baya itu ternyata juga menjual Tramadol yang dia sebut 'Madol'. 

"Obat apa? Ohh madol, ada saya ini, mau berapa?" tanya ibu itu sambil mengeluarkan obat dari dalam tas kecilnya.

Baca juga: Pria Bandung Bertato Jaring Laba-laba di Kepala Nekat Jual Tramadol, Diamankan di Alun-alun Subang

Sambil merokok, wanita itu mengaku menjual obat keras itu dengan harga Rp 30 ribu per satu stripnya. Secara terbuka dia memberikan obat dan mengatakan jika transaksi ini aman. 
"Transaksi di sini aman bu?" tanya Tribunnews. "Aman kok aman. Tenang aja, aman kok di sini, minum di sini juga bisa, itu pakai air putih," jawab si ibu.

Sekitar 10 menit setelah itu, penjual tersebut berbincang dengan teman seprofesinya terkait masalah penjualan Tramadol. 

Transaksi Tramadol di sana begitu cepat. Ini juga terlihat dari pembeli lain yang hanya menghentikan sepeda motornya sesaat untuk mengambil 'barang' dan berlalu pergi seperti sudah biasa membeli.

Setelahnya Tribunnews mencoba mencari penjual lain, hingga kemudian bertemu dengan seorang pria yang berjualan pakaian bekas. 

Setelah minta izin beristirahat di bangku panjang di samping lapak dagangannya tersebut, Tribunnews kembali bertanya tentang Tramadol kepada pria tersebut. 

Lagi-lagi benar saja, pria berusia 58 tahun itu ternyata juga menjual obat keras Tramadol secara bebas. "Iya saya jual juga, ini (jual Tramadol kerjaan) sampingan saja," ucap bapak itu.
 
Pria dengan garis keriput di wajahnya itu menjual Tramadol dengan harga yang sama dengan penjual lain yakni Rp 30 ribu per strip. Namun, dia akan memberikan diskon jika memang Tramadol itu akan dijual kembali.

Dalam sehari, pria itu mengaku bisa menghabiskan puluhan boks berisi lima strip per-boksnya. Selain satu strip, dia juga bisa menjual setengah strip atau berisi lima tablet Tramadol. 

Pembelinya mulai dari kuli proyek, pedagang di toko-toko Pasar Tanah Abang hingga para pengamen jalanan dengan kode lain yang biasa dia sebut 'TM'. "Bisa beli setengah (strip) juga, harganya Rp 15 ribu. Biasanya pengamen-pengamen yang beli setengah dulu, nanti sore dapat duit beli setengah lagi," ungkapnya.

Dari pengakuannya, penjualan obat secara ilegal ini sudah dilakukan sejak satu tahun terakhir. Dia ikut berjualan obat keras itu karena butuh biaya tambahan untuk keperluan sehari-hari. 
Pendapatan dari bisnis aslinya, yakni berjualan pakaian, tak bisa diandalkan. Apalagi dua dari empat anaknya kini sudah tidak bekerja karena terkena PHK.

Bak seorang sales profesional, pria yang mengenakan baju polo dan topi itu memberikan informasi mengenai efek penggunaan Tramadol yang bisa menambah stamina dan pikiran menjadi tenang. 

Di samping itu, pria itu mengakui bahwa penjualan obat yang peruntukannya untuk meredakan rasa nyeri sedang dan parah itu sangat bebas di kawasan Pasar Tanah Abang.

Razia oleh petugas keamanan biasanya dilakukan pada malam menjelang dini hari. Waktunya pun tak bisa dipastikan. Sehingga banyak penjual yang hanya bertransaksi pada siang hari. 
"Gampang di sini mah (jualan Tramadol), polisi lewat cuek aja, buser-buser lewat gitu. Iya, ya udah dapat jatah lah (petugas keamanan)," ungkapnya.

Selain di kawasan Pasar Tanah Abang, Tribunnews  juga menyusuri penjualan Tramadol di Pasar Pramuka, Matraman, Jakarta Timur. Berbeda dengan di Tanah Abang yang penjualannya dilakukan terang-terangan, di Pasar Pramuka penjualan Tramadol dilakukan agak sedikit sembunyi-sembunyi.

Saat Tribunnews memarkirkan kendaraan tepat di samping pasar dan akan masuk ke area Pasar Pramuka, seorang pria berbadan kurus tiba-tiba menghampiri. Pria yang mengenakan baju abu-abu cukup lusuh itu kemudian bertanya keperluan datang ke Pasar Pramuka. 

Tim Tribunnews kemudian menyebut hendak membeli Tramadol. Dengan mata agak sayu karena kelopak matanya yang menurun, pria tersebut langsung menggetok harga barang yang ingin dibeli. "Tramadol mah enggak ada (di dalam Pasar Pramuka), kalau mau saya ada, tapi harganya Rp 200 ribu satu strip, mau?" ucapnya.

Kaget mendengar harga yang disebutkan pria tersebut, tim Tribunnews kemudian mencoba menawar dengan harga yang cocok. Namun, proses tawar-menawar itu gagal karena dia hanya menurunkan harga obat itu menjadi Rp 150 ribu per stripnya.

Di Kota Bandung, modus penjualan tramadol berbeda dari Jakarta. Penjualan tramadol dilakukan di warung-warung. Hal itu diungkap oleh seorang tersangka pengedar yang berhasil diamankan Polrestabes Bandung, 6 September lalu. 

Namanya Zulfikar. Ia mengaku menjadi pengedar obat keras berbagai merek sebanyak 285 ribu butir di Kota Bandung. Ia mengaku mengedarkan obat-obatan keras, termasuk tramadol, dengan cara mendistribusikannya ke warung-warung.
 
"Ya ada yang kontan dan mengambilnya. Saya dapat dari orang yang mengantar barang itu ke tempat saya. Saya sudah selama setahun melakukan transaksi ini (jual beli obat keras)," katanya di Kantor Satnarkoba Polrestabes Bandung, belum lama ini.

Sepanjang Agustus 2024, Satresnarkoba Polrestabes Bandung mengungkap 33 kasus narkotika. 

Kapolrestabes Bandung, Kombes Pol Budi Sartono, menjelaskan bahwa pihaknya berhasil menangani kasus narkotika sebanyak 33 kasus, terdiri dari 23 kasus sabu, tiga kasus daun ganja kering, empat kasus jenis ekstasi, tiga kasus tembakau sintetis, dan 285 ribu butir obat-obatan tramadol dan hexymer.

"Tersangka yang kami amankan sebanyak 47 orang dari 33 kasus ini. Jumlah barang bukti yang kami amankan di antaranya sabu-sabu 322 gram, daun ganja kering 650 gram, ekstasi 80 butir, tembakau sintetis 331 gram, obat keras terbatas 285 ribu butir, psikotropika 29 butir, timbangan, dan lainnya," ujarnya 6 September lalu. 

Kapolres menambahkan, pihaknya terus berkomitmen menindak kasus narkoba khususnya obat-obat keras terbatas. Pasalnya, katanya, obat-obatan keras itu banyak disalahgunakan para anak muda dalam tawuran dan lain-lain.

"Alhamdulillah kami berhasil ungkap 285 ribu butir obat-obat keras terbatas ini jenis tramadol dan hexymer. Sebab, ini (obat) banyak digunakan anak muda khususnya saat tawuran atau nongkrong sampai larut malam sehingga berakibat pada gangguan Kamtibmas," katanya didampingi Kasatnarkoba Polrestabes Bandung, AKBP Agah Sanjaya.

Kota Bandung, lanjut Kombes Budi, sangat komitmen mencegah peredaran obat-obatan keras terbatas. "Keuntungan dari obat-obatan ini pelaku bisa meraup Rp 2.000 per butir. Jadi, bisa dihitung dari 285 ribu dikali Rp 2.000 (sekitar Rp 570 juta) keuntungan bagi para penjual," katanya 

Para pelaku tersebut, Budi mengatakan sebagai pengedar yang mendistribusikan atau suplai ke warung-warung di Kota Bandung. Namun, sebelum menyuplai, mereka berhasil ditangkap. "Memang masih jumlahnya lebih besar untuk obat-obatan keras terbatas ini. Mereka dapat dari Jakarta (obat-obatan)," katanya.

Peredaran Tramadol tanpa izin, khususnya di Jakarta dan sekitarnya, sangat mudah ditemukan. Obat keras itu dijual bebas di pinggir jalan tanpa harus sembunyi-sembunyi saat membelinya. Padahal, penjualan obat yang masuk dalam kategori obat keras itu tanpa izin atau tanpa surat dokter termasuk dalam kategori ilegal.

"Itu obat keras, tapi dia (Tramadol) ilegal, bukan obat legal," kata Kasubdit III Dittipid Narkoba Bareskrim Polri, Kombes Suhermanto saat dihubungi Tribunnews, Jumat (13/9).

Meski bukan obat yang masuk ke dalam golongan narkotika maupun psikotropika, namun tetap saja penjualan obat tersebut harus menggunakan resep dokter. 

"Ya dia kan obat tanpa izin edar, kategorinya obat-obatan, enggak ada golongan dia. Bukan narkotika dan bukan psikotropika. Bukan, dia obat keras, tapi harus ada resep dari dokter," ucap Suhermanto.

Dalam hal ini, para penjual Tramadol tanpa izin ini bisa dikenakan pidana dengan ancaman maksimal 12 tahun penjara. Adapun aturan tersebut diatur dalam pasal 138 ayat (2) dan (3) juncto pasal 435 Undang Undang Republik Indonesia tentang kesehatan. (tribun network/tribun jabar)

Artikel TribunJabar.id lainnya bisa disimak di GoogleNews.

IKUTI CHANNEL WhatsApp TribunJabar.id untuk mendapatkan berita-berita terkini via WA: KLIK DI SINI

Sumber: Tribun Jabar
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved