Muhibah Budaya Jalur Rempah 2024
Hari Keenam: Lego Jangkar Sehari Semalam dan Kisah tentang Kopi Sanger Khas Aceh
PADA hari keenam Muhibah Budaya Jalur Rempah 2024, Sabtu, 21 Juni, dini hari, saya terbangun dengan kondisi KRI Dewaruci yang terasa sangat tenang.
Penulis: Hermawan Aksan | Editor: Hermawan Aksan
Laporan Wartawan Tribunjabar.id Hermawan Aksan
PADA hari keenam Muhibah Budaya Jalur Rempah 2024, Sabtu, 21 Juni, dini hari, saya terbangun dengan kondisi KRI Dewaruci yang terasa sangat tenang, nyaris tanpa goyangan, apalagi anggukan. Sudah sampai Sabang, pikir saya.
Situasi itu membuat tubuh saya terasa segar dan sehat. Pening kepala hilang tak bersisa. Saya turun dari tempat tidur menuju kamar mandi, buang air kecil, lalu kembali ke tempat tidur tanpa siksaan seperti kemarin.
“Semoga semua peserta sehat dan selamat selama perjalanan muhibah, hingga tiba di rumah masing-masing,” batin saya. Aamiin.
Saya pun bisa melanjutkan tidur beberapa jam sebelum bangun lagi sekitar pukul setengah lima. Dengan tubuh yang menuju pulih, saya buang air besar, mandi, berwudu, dan naik ke geladak atas untuk salat Subuh berjemaah.
Baca juga: Hari Pertama: Dari Bumiayu Menuju Dumai, sebelum Pelayaran Panjang hingga ke Malaka Malaysia
Dari geladak, terlihat deretan cahaya dari Dermaga CT-1 Subang. Kapal sudah lego jangkar, tidak lagi bergerak. Boleh jadi kedua jangkar di haluan, baik kanan maupun kiri, sudah “memakan” pasir atau lumpur. “Memakan” adalah istilah para awak kapal yang bermakna menancap dengan kuat. Jika jangkar sudah “memakan”, kapal akan bertahan di tengah perairan tanpa bergeser ke kiri/kanan atau ke depan/belakang.
Ada kejadian lucu sebelum salat Subuh. Sebelum salat fardu, karpet digelar dengan arah kiblat “merah 160”. Saya mengambil tempat di baris terdepan. Kami pun melaksanakan salat sunah Subuh. Namun, setelah selesai salat sunah, seorang awak mengumumkan bahwa arah yang benar adalah “hijau 90”. Karpet pun diubah arahnya dengan perbedaan derajat yang sangat besar, nyaris bertolak belakang. Jadi, ternyata kami melaksanakan salat sunah hampir ke arah timur.
Saya, yang semula berada di baris terdepan, menjadi berada di belakang saat salat Subuh. Dalam posisi paling belakang, karena angin bertiup kencang dengan suara yang keras, saya tidak bisa mendengar bacaan salat imam. Saya pun hanya mengikuti gerakan orang di sekitar saya.
Seperti kemarin, makan pagi berlangsung setelah salat Subuh. Terlalu pagi? Ternyata tidak. Selesai salat Subuh sudah hampir pukul enam dan sudah cukup siang untuk menyantap sarapan.
Baca juga: Hari Kedua: Pembekalan Berharga sebelum Membelah Laut dengan Kapal Dewaruci
Setelah sarapan, saya dan Yudhi Herwibowo berbincang-bincang ringan. Topik pembicaraan kami selalu tidak banyak beranjak dari sastra dan tulis-menulis serta penerbitan buku. Kami kemudian bersepakat untuk memanfaatkan kuatnya sinyal internet. Maka kami pun sama-sama membawa laptop ke geladak atas. Dengan hotspot dari ponsel, saya bisa mengirimkan tulisan melalui laptop. Saya juga bisa menjawab dan saling membalas pesan WhatsApp dengan istri saya di rumah. Lumayan buat melepas rindu.
Saat waktu beranjak siang dan cuaca makin terang, meskipun matahari tetap tersaput awan, Dermaga CT-1 Sabang tampak hanya beberapa ratus meter dari KRI Dewaruci. Angin bertiup lumayan kencang sehingga saya tetap mengenakan jaket. Tapi kapal hanya mengalami goyangan-goyangan kecil. Sejumlah warga tampak menonton datangnya KRI Dewaruci dari kejauhan di dermaga sana.
Saat itulah sebuah kapal kecil mendekati Dewaruci. Ada apa? Tak lama kemudian tiga anggota Laskar Rempah diturunkan menuju kapal kecil itu yang segera berbalik dan melaju menuju dermaga. Baru setelah itu saya mendengar kabar bahwa tiga anggota Laskar Rempah dibawa ke darat untuk berobat ke dokter karena sakit.
Belakangan terdengar pula kabar bahwa mereka sudah pulih lagi dan ingin segera kembali ke kapal. Alhamdulillah. Inilah salah satu yang saya puji dari para anggota Laskar Rempah: penuh semangat. Mereka seakan-akan tidak lagi merasakan “sakit” yang mereka derita. Beberapa peserta lain juga tampak sudah sehat lagi, termasuk Pak Bimo Nugroho, yang kelihatan sudah ceria lagi, dengan senyum dan tawanya yang khas.
Baca juga: Hari Ketiga: Meninggalkan Dumai, Membelah Laut, dan Kehilangan Sinyal Internet
Ketika Laskar Rempah sedang mematangkan latihan tari-tarian yang akan mereka pertunjukkan di daratan besok malam, dan saya merasa sudah cukup mengirimkan tulisan untuk hari ini, saya dan Yudhi memutuskan turun ke ruang tidur. Lagi pula, waktu makan siang akan tiba tidak akan lama lagi. Ternyata, keputusan kami untuk turun dari geladak atas tepat. Hanya beberapa menit kemudian turun hujan, yang diumumkan dari anjungan.
Yang tidak kami duga, hujan itu turun deras disertai angin kencang. Saya merasakan kapal miring ke kiri dan bergoyang-goyang cukup keras. Beberapa waktu kemudian, setelah hujan reda dan kapal kembali tenang, muncul kabar bahwa baru saja terjadi hujan badai yang membuat KRI Dewaruci miring sekitar 15 derajat.
Hari Ke-20: Hari Terakhir Muhibah Budaya Jalur Rempah, Tangis Kembali Tumpah |
![]() |
---|
Hari Ke-19: Pagi Terakhir di KRI Dewaruci dan Malam Pembukaan Festival Raja Ali Haji |
![]() |
---|
Hari Ke-18: Lego Jangkar di Tanjung Uban, Tangis Peserta Muhibah pada Malam Terakhir di KRI Dewaruci |
![]() |
---|
Hari Ke-17: Mencium Udara Hari Terakhir di Malaka dan Melanjutkan Muhibah ke Tanjung Uban |
![]() |
---|
Hari Ke-16: Jumpa Sahabat di Malaysia, Kunjungi Masjid Selat Melaka, dan Hadiri Farewell Dinner |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.