Muhibah Budaya Jalur Rempah 2024
Hari Ke-17: Mencium Udara Hari Terakhir di Malaka dan Melanjutkan Muhibah ke Tanjung Uban
Tepat pukul 14.00 waktu Malaka, KRI Dewaruci berlayar lagi dengan tujuan berikut Tanjung Uban, Kepulauan Riau.
Penulis: Hermawan Aksan | Editor: Hermawan Aksan
Laporan Wartawan Tribunjabar.id Hermawan Aksan
PADA pagi terakhir di Kota Malaka, Rabu, 3 Juli 2024, saya jalan-jalan menghirup udara dan suasana pagi. Saya keluar dari pintu utama Imperial Heritage Hotel, lalu berjalan kaki ke arah kanan. Sekitar pukul tujuh lebih sepuluh menit waktu itu dan langit masih temaram. Saya tidak tahu apakah matahari sudah terbit karena awan menutupi langit. Waktu Subuh di sana pukul 05.55.
Sayang sekali saya lupa membawa ponsel sehingga tidak bisa mengambil gambar. Di jalan, saya lihat banyak mobil berderet satu arah dalam keadaan berhenti. Apakah terjadi kemacetan? Aneh rasanya terjadi kemacetan di Kota Malaka pada pagi hari. Setelah dekat, ternyata itu deretan mobil yang parkir di depan dua sekolah kebangsaan yang bersebelahan. Mobil-mobil berderet memanjang hingga menjelang Muzium Istana Kesultanan Malaka.
Saya menduga anak-anak sekolah itu sudah masuk pukul 7 waktu setempat, sama dengan di Indonesia. Hanya, karena waktu Malaysia sama dengan Waktu Indonesia bagian Tengah, berarti suasana pagi itu sama dengan pukul 06.00 WIB.
Saya sempat melewati tanah lapang tempat warga berolahraga pagi. Mereka kebanyakan orang berusia tua, yang melakukan olahraga jalan pagi dan senam ringan, mungkin taichi. Dari situ saya lewat di seberang Hatten Hotel, tempat acara farewell dinner tadi malam.
Setiba kembali di hotel, saya beres-beres tas dan bawaan.
Kalau kemarin saya makan pagi empat macam makanan, kali ini hanya dua macam. Tadinya saya ingin makan nasi goreng, tapi ternyata hari ini tidak tersedia. Jadi saya pilih nasi lemah. Seperti biasa dua hari kemarin, porsi nasi lemaknya sangat minimalis, hanya bisa mengenyangkan perut anak-anak. Karena itu, saya langsung mengambil mi kuah kari, yang rasanya mirip dengan mi instan rasa kari ayam.
Sekitar pukul sepuluh check out dari hotel. Kami sempat menunggu agak lama dan mengisi waktu dengan saling berfoto dengan para anggota Laskar Rempah. Sementara Laskar Rempah naik bus, kami peserta undangan naik mobil Hiace menuju Tanjung Bruas. Kami tiba lebih dulu dan di pemeriksaan Imigrasi, kami hanya menandatangani sebuah buku.
Kami harus menunggu sampai pukul 12.00 untuk masuk ke pelabuhan.
Laut sedang surut sehingga permukaan geladak kapal dan dermaga memiliki perbedaan yang cukup lebar. Karena itu, kami harus berjalan satu per satu supaya tidak memengaruhi keseimbangan tangga. Laut surut sekitar satu sampai dua meter. Upacara pelepasan dilakukan oleh pejabat kedua negara. Namun, berbeda dengan ketika pelepasan di Sabang, saya tidak melihat ada yang menangis kali ini. Mungkin karena acaranya tidak begitu meriah.
Tepat pukul 14.00 waktu Malaka, KRI Dewaruci berlayar lagi dengan tujuan berikut Tanjung Uban, Kepulauan Riau. Kapal berputar arah, kemudian melaju pelan di bawah matahari siang yang menyengat.
Sejalan dengan makin jauhnya kapal dari dermaga, pelan-pelan sinyal internet menghilang dan paket roaming saya selama di Malaka pun tidak berlaku lagi. Kembali kami merasa terisolasi, tidak bisa menghubungi siapa pun, tidak dapat membuka aplikasi pesan WhatsApp, hanya bisa melihat halaman muka Facebook tanpa bisa melihat kabar terbaru atau komentar-komentar.
Ombak dan angin agak keras, tapi masih boleh dikatakan bersahabat. Perjalanan dari Sabang ke Malaka memang boleh dikatakan lebih menyenangkan karena saya tidak terserang pusing, apalagi mabuk. Saya berharap perjalanan berikutnya juga menyenangkan.
Saya sempat tiduran ketika para anggota Laskar Rempah sedang berkumpul di ruang tidur laki-laki dalam forum evaluasi atau mungkin curhat di depan Bu Yusmawati dan Mbak Bunga. Baru kali ini Bu Yusmawati, ketua tim MBJR 2024, ikut dalam pelayaran bersama Batch 2. Adapun Mbak Bunga menemani peserta menggantikan Mbak Nia yang mendampingi kami dari Sabang ke Malaka.
Acara mereka selesai menjelang pukul enam sore (ponsel saya masih menunjukkan waktu Malaysia). Saya turun dari tempat tidur, mandi, makan sore, kemudian naik ke geladak atas, bergabung dengan beberapa teman media sambil menunggu sunset dan saatnya salat Magrib.
Malam-malam perut terasa lapar lagi. Saya, Yudhi, dan Faiz ikut menunggu bukanya “bakso Samudra”. Namun, setelah menunggu sekitar satu jam, begitu Pak Aris mulai melayani, antrean peminat bakso begitu panjang, terutama para awak kapal.
Hasrat untuk makan bakso pun surut. Saya memilih tidur saja, tak sabar pulang ke Tanah Air. (*)
Hari Ke-20: Hari Terakhir Muhibah Budaya Jalur Rempah, Tangis Kembali Tumpah |
![]() |
---|
Hari Ke-19: Pagi Terakhir di KRI Dewaruci dan Malam Pembukaan Festival Raja Ali Haji |
![]() |
---|
Hari Ke-18: Lego Jangkar di Tanjung Uban, Tangis Peserta Muhibah pada Malam Terakhir di KRI Dewaruci |
![]() |
---|
Hari Ke-16: Jumpa Sahabat di Malaysia, Kunjungi Masjid Selat Melaka, dan Hadiri Farewell Dinner |
![]() |
---|
Hari Ke-15: Bermula dari Kampung Jawa, Lalu Pameran Hang Tuah, dan Berakhir di Tempat Laundry |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.