Rupiah Melemah, Pengamat Ekonomi Sarankan Pemerintah Lakukan Dua Hal Ini untuk Menekan Gelombang PHK

pelemahan nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar dapat mengancam kinerja industri, khususnya sektor padat karya. 

Editor: Siti Fatimah
istimewa
Pengamat Ekonomi Universitas Pasundan, Acuviarta Kartabi 

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Pengamat Ekonomi Universitas Pasundan (Unpas), Acuviarta Kartabi menilai pelemahan nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar dapat mengancam kinerja industri, khususnya sektor padat karya. 

Saat ini, kurs rupiah semakin melemah dengan berada di posisi Rp16.412 per dolar Amerika Serikat (AS). Depresiasi rupiah ini, kata dia, menambah beban operating expense (opex) atau biaya yang difungsikan untuk operasional sehari-hari perusahaan. 

Depresiasi rupiah juga akan membuat kinerja industri manufaktur semakin tertekan karena cost of doing business atau biaya melakukan bisnis semakin mahal. Kondisi itu diperparah dengan menurunnya permintaan pasar akibat gejolak ekonomi. 

"Kemudian, masuknya barang-barang impor murah yang sudah jadi juga harus dibatasi, jangan sampai kemudahan impor ini menggerus pasar domestik yang sedang kesulitan saat ini," ujar Acuviarta Kartabi, Selasa (18/6/2024). 

Menurutnya, jika kondisi itu terus dibiarkan maka kekhawatiran adanya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran di industri tekstil dan produk tekstil (TPT), alas kaki, serta furniture pun bisa saja terjadi. 

"Makanya perlu solusi, langkah-langkah kongkrit dari pemerintah," katanya.

Dalam jangka pendek, pemerintah dapat melakukan dua kebijakan yakni, pertama dengan memberikan insentif kepada industri manufaktur padat karya.

"Memberikan insentif kepada industri, seperti pembebasan pajak dan insentif lainnya untuk mengurangi beban mereka, karena kalau terus-terusan terbebani industri juga tidak bisa bertahan dan bisa terjadi pemutusan hubungan kerja yang berimbas pada pengangguran," katanya.

Kedua, kata dia, pembatasan impor yang dapat menggerus produk lokal. Jangan sampai, di tengah kondisi sulit produk impor terus membanjiri pasar lokal. 

"Itu sangat bisa dilakukan oleh pemerintah karena jangan sampai seperti beberapa bulan lalu, banyak pakaian bekas dari luar negeri dengan mudahnya masuk ke Indonesia itu akan menggerus pasar lokal," ucapnya.

Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani menyebut, pelemahan nilai tukar rupiah hingga mencapai Rp 16.400 per dolar AS sangat tidak kondusif bagi dunia usaha.

"Depresiasi rupiah secara umum melemahkan produktivitas dan daya saing industri. Ini karena efek depresiasi rupiah terhadap berbagai industri relatif sama, yakni meningkatkan beban produksi existing," ujar Shinta saat dihubungi Tribun, Selasa (18/6).

Menurutnya, perusahaan-perusahaan yang memiliki kemampuan finansial yang terbatas atau memiliki market yang “vulnerable” atau dalam arti market share akan berkurang signifikan atau hilang sepenuhnya karena kompetisi pasar bila harga barang yang diproduksi meningkat) akan memiliki resiko PHK, pengurangan kapasitas produksi hingga penutupan usaha. 

"Jadi pengurangan pekerja karena depresiasi rupiah sangat terbuka. Meskipun demikian, kami tidak memproyeksikan PHK akan dilakukan secara massive pada saat yang bersamaan dalam waktu dekat, kemungkinan PHK justru akan terjadi secara bertahap seiring dengan pelemahan kinerja usaha yang disebabkan oleh depresiasi rupiah," ucap Shinta.

Sumber: Tribun Jabar
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved