Pemilu 2024

Sosok 3 Hakim MK yang Beri Dissenting Opinion: Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat

Inilah sosok tiga hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang memberikan dissenting opinion atau pendapat berbeda dalam sidang sengketa Pilpres 2024.

Penulis: Rheina Sukmawati | Editor: Rheina Sukmawati
Kolase Kompas.com, Dok. MK, Istimewa
Tiga hakim MK memberikan dissenting opinion itu adalah Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat dalam sidang putusan sengketa Pilpres 2024. 

Hal itu menyebabkan ketidaksetaraan peserta mengenai kontestasi perebutan suara rakyat dalam pemilu.

"Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian perimbangan hukum di atas, dalil Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian, tidak sebagaimana yang dimohonkan Pemohon dalam petitumnya," kata Enny.

Pihaknya meyakini telah terjadi ketidaknetralan pejabat yang sebagian berkelindan dengan pemberian bansos.

Oleh karena itu seharusnya Mahkamah memerintahkan untuk dilakukan pemungutan suara ulang untuk beberapa daerah tersebut.

3. Arief Hidayat

Arief Hidayat merupakan hakim MK yang sebelumnya juga pernah menjabat sebagai Ketua MK pada 2015-2018.

Ia menjabat sebagai hakim MK pada 4 Maret 2013, menggantikan Mahfud MD.

Pria kelahiran Semarang, 3 Februari 1956 ini juga adalah seorang profesor hukum di almamaternya, Universitas Diponogoro.

Ia memiliki keahlian di bidang hukum tata negara, hukum dan politik, hukum dan perundang-undangan, hukum lingkungan, dan hukum perikanan.

Hakim MK Arief Hidayat yang memberikan dissenting opinion dalam sidang putusan sengketa Pilpres 2024, Senin (22/4/2024).
Hakim MK Arief Hidayat yang memberikan dissenting opinion dalam sidang putusan sengketa Pilpres 2024, Senin (22/4/2024). (Istimewa via TribunMedan.com)

Dalam sidang putusan MK, Arief Hidayat secara khusus memberikan sejumlah catatan, salah satunya untuk menyelenggarakan pemilu tidak hanya sesuai dengan prinsip rule of law (aturan hukum) namun juga rule of ethics (aturan etika).

Rule of ethics yang luhur tersebut perlu ditegakkan oleh suatu Mahkamah Etika Nasional, sehingga penyimpangan dalam pemilu di masa depan dapat dihindari.

Penyimpangan rule of ethics yang dimaksud seperti cawe-cawe presiden dalam pemilu yang merupakan tindakan abuse of ethics.

Cawe-cawe presiden tersebut yakni ketika presiden secara terang-terangan mendukung salah satu paslon.

Hal itu kemudian Arief menilai bahwa presiden seolah-olah mencoba menyuburkan politik dinasti dengan nepotisme an berpotensi mengancam tata nilai demokrasi ke depan.

Ia juga memberikan catatan bahwa waktu penyelesaian sengketa pemilu perlu ditambahkan, tidak hanya 14 hari.

Halaman
1234
Sumber: Kompas
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved