Kultum Ramadhan

Manusia yang Dapat Mengalahkan Hawa Nafsunya akan Mencapai Derajat Lebih Baik daripada Malaikat

Sesungguhnya manusia yang lebih dekat kepada Allah pada hari kiamat adalah orang yang lebih lama menahan lapar dan haus.

Penulis: Padna | Editor: Hermawan Aksan
Istimewa
Ucu Saeful Aziz, S.Ag. (Ketua Komisi Fatwa MUI Kabupaten Pangandaran) 

Oleh Ucu Saeful Aziz, S.Ag. (Ketua Komisi Fatwa MUI Kabupaten Pangandaran)

ALLAH menciptakan makhluk dalam tiga kategori. Pertama, malaikat yang hanya dibekali akal, tanpa disertai nafsu. Kedua, binatang yang hanya diberi keinginan (nafsu), tanpa dibekali akal. Ketiga, manusia yang tidak hanya dibekali akal tapi juga dilengkapi dengan keinginan nafsu. 

Manusia yang akalnya dapat mengalahkan keinginan hawa nafsunya akan mencapai derajat yang lebih baik daripada malaikat

Bagi orang yang berakal sempurna, mengendalikan kecenderungan hawa nafsu dengan menahan lapar merupakan keniscayaan.

Karena lapar merupakan pengendalian terhadap musuh Allah, sementara hal-hal yang menyuburkan setan adalah memperturutkan hawa nafsu, makan dan minum.

Nabi Muhammad saw. bersabda: "Sesungguhnya setan berada dalam diri anak Adam berjalan bersama peredaran darah, maka persempitlah perjalanannya dengan cara lapar."

Sesungguhnya manusia yang lebih dekat kepada Allah pada hari kiamat adalah orang yang lebih lama menahan lapar dan haus.

Adapun dosa yang paling besar yang akan merusak dan menghancurkan manusia adalah keinginan nafsu perut.

Karena keinginan nafsu perut pula Adam dan Hawa diusir dari perkampungan yang abadi, yaitu surga ke perkampungan yang hina dan miskin, yaitu dunia.

Ketika Allah melarang mereka untuk memakan buah syajarah (khuldi), keduanya terkalahkan oleh keinginan nafsu perutnya dan tetap memakan buah itu.

Akhirnya aurat keduanya menjadi tampak. Sungguh perut merupakan sumber dari segala keinginan nafsu.

Seorang ahli hikmah berkata: "Barangsiapa yang dikuasai hawa nafsunya, maka dia menjadi tertawan oleh kecintaan terhadap keinginan-keinginannya dan terbelenggu dalam kesalahan-kesalahannya. Hawa nafsu itu akan menghalangi hatinya untuk dapat menerima faedah."

Barangsiapa yang menyirami anggota-anggota tubuhnya dengan memperturutkan kesenangan-kesenangan nafsu, berarti dia menanam pohon penyesalan di dalam hatinya.

Ahli tafsir Al-Hafidz Ibnu Katsir Asy-Syafi'i menegaskan dalam kitab Tafsirnya bahwa relevansi antara puasa dapat menjadikan manusia ke arah takwa karena dua hal.

Pertama, puasa dapat membersihkan tubuh dan menyempitkan jalan setan (dalam tubuh manusia)

Alasan kedua ini berdasarkan hadits sahih, "Sesungguhnya setan berjalan dalam tubuh manusia melalui sel-sel darah" (Muttafaq Alaihi).

Kadang kita jumpai redaksi di atas dengan tambahan kalimat, "Maka sempitkanlah peredaran setan dalam tubuh manusia itu dengan lapar (puasa)".

Menurut ahli hadits syekh Al-Ajluni, hadis ini disampaikan oleh Imam Ghazali dalam kitab Ihya' Ulumuddin. 

Al-Iraqi berkata, "Hadis riwayat Bukhari dan Muslim, kecuali redaksi 'maka disempitkan peredaran setan dengan lapar', maka tambahan tersebut adalah hadis mudraj (kalimat yang disisipkan dalam redaksi hadis) yang disampaikan oleh sebagian ulama Sufi" (Kasyf Al-Khafa')". 

Namun terlepas dari semua itu, jelaslah bagi kita bahwa esensi puasa adalah untuk dapat mencapai derajat takwa dengan mengendalikan diri kita dari keinginan hawa nafsu yang membinasakan. (*)

Sumber: Tribun Jabar
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved