Kajian Islam

Hukum Munggahan dalam Islam, Tradisi Menyambut Bulan Ramadhan Benarkah Haram? Begini Kata Buya Yahya

Berikut inilah hukum munggahan dalam Islam, hukum tradisi menyambut bulan Ramadhan dijelaskan ulama Buya Yahya.

Penulis: Hilda Rubiah | Editor: Hilda Rubiah
Tribun Jabar/Sidqi Al Ghifari
Ilustrasi munggahan makan bersama - Hukum Munggahan dalam Islam, Tradisi Menyambut Bulan Ramadhan Benarkah Haram? Begini Kata Buya Yahya 

TRIBUNJABAR.ID - Berikut inilah hukum munggahan dalam Islam, dijelaskan ulama Buya Yahya.

Setiap menjelang bulan Ramadhan, di Indonesia sebagian masyarakat muslim menggelar munggahan.

Munggahan merupakan tradisi menyambut bulan puasa Ramadhan dikenal masyarakat suku Sunda atau Jawa Barat.

Dilansir dari laman Dinas Kebudayaan dan Pariwisiata Kota Bandung, kata munggahan sendiri berasal dari Bahasa Sunda.

Baca juga: Apa Itu Munggahan? Tradisi Masyarakat Sunda yang Biasa Dilakukan Menjelang Bulan Puasa Ramadan

Adapun arti munggah adalah naik, dan makna munggahan artinya naik ke bulan suci yang derajatnya lebih tinggi.

Demikian makna bagi masyarakat mulsim Sunda, tradisi munggahan tersebut dilakukan sebagai bentu raya syukur kepada Allah SWT.

Selain itu, mereka memaknai munggahan bertujuan agar terhindar dari perbuatan tidak baik selama menjalani ibadah puasa nantinya.

Biasanya ritual munggahan pun dilakukan berbeda-beda.

Ada yang dilakukan dengan cara doa bersama, ziarah ke makam keluarga atau tokoh agama hingga berkumpul dengan keluarga dan kerabat.

Saat berkumpul saat munggahan ada juga saling bermaafan, saling mendoakan hingga menyantap makanan bersama.

Lalu, bagaimana sebenarnya hukum munggahan tersebut dalam Islam? Lantas benarkah haram?

Warga menyambut ramadan atau munggahan dengan makan bersama nasi liwet kekinian
Warga menyambut ramadan atau munggahan dengan makan bersama nasi liwet kekinian (Istimewa)

Dilansir dari ceramah ulama Buya Yahya di kanal Youtube Al-Bahjah TV, dijelaskan hukum munggahan dalam Islam.

Buya Yahya menejelaskan hukum munggahan dalam Silam diperbolehkan dengan syarat tidak ada unsur keyakinan di dalamnya.

Keyakinan yang dimaksud Buya Yahya seperti melakukan tradisi tersebut dengan meyakini bisa mendatangkan rezeki.

“Misal kita percaya sesuatu tersebut bisa mendatangkan rezeki, itu termasuk musyrik,” ujar Buya Yahya.

Halaman
123
Sumber: Tribun Jabar
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved