Panceklik Beras Diprediksi Berlangsung hingga April, Harganya Bisa Timbulkan Kegaduhan

Harga beras terus meroket lantaran produksi beras domestik terbatas. Kondisi ini diprediksi akan berlangsung hingga April 2024.

Penulis: Nappisah | Editor: Giri
Tribun Jabar/Nappisah
Pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori. 

Laporan Wartawan TribunJabar, Nappisah

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Harga beras terus meroket lantaran produksi beras domestik terbatas. Kondisi ini diprediksi akan berlangsung hingga April 2024.

“Saat ini masih paceklik. Kira-kira sampai bulan April. Panen besar kemungkinan baru akhir April atau awal Mei 2024,” ujar pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori, kepada Tribunjabar.id, Senin (12/2/2024). 

Menurutnya, kondisi ini sangat sulit karena Maret bertepatan bulan Ramadan dan April memasuki Hari Raya Idulfitri

“Penting buat pemerintah untuk memastikan pasokan beras dalam jumlah memadai. Jika tidak, harga potensial naik dan bisa menimbulkan kegaduhan, bahkan berdampak ke soal sosial-politik,” ujar Khudori

Merujuk data BPS, produksi beras pada Januari-Februari 2024 masih kecil.

Produksi dua bulan yang lalu masih kurang 2,8 juta ton untuk menutupi kebutuhan konsumsi di dua bulan tersebut. 

Baca juga: Warga Kota Bandung Kesulitan Cari Beras Premium 5 Kg di Minimarket, Hampir Sebulan Kosong

“Produksi di Maret lumayan besar, sehingga diperkirakan akan ada surplus 0,97 juta ton beras,” katanya. 

Kendati demikian, khudori menilai surplus beras dipastikan akan jadi rebutan banyak pihak. 

“Panen di April pun akan bernasib sama, jadi rebutan banyak pihak. Terutama untuk mengisi jaring-jaring distribusi yang berbulan-bulan kering kerontang karena paceklik,” tuturnya. 

Khudori mengatakan, bantuan untuk warga kurang mampu digelontorkan lewat program PKH, program sembako, bantuan pangan beras 10 kg/keluarga/bulan. 

Bahkan ada bantaun langsung tunai (BLT) mitigasi risiko pangan yang dirapel tiga bulan sebesar Rp 600 ribu/keluarga. 

“Yang perlu perhatian ada kelompok yang hanya beberapa jengkal di atas garis kemiskinan. Kalau harga beras dan pangan naik, mereka potensial menjadi kaum miskin baru. Selama ini mereka belum tersentuh oleh aneka bantuan sosial dan jaring pengaman sosial itu,” jelasnya. 

Khudori menuturkan, Badan Pangan Nasional telah menugaskan Bulog untuk menggencarkan operasi pasar yang bernama SPHP (stabilisasi pasokan dan harga pangan). 

“Beras SPHP ini bisa jadi pilihan warga miskin/rentan karena harganya lebih terjangkau, Rp11.500 hingga Rp 11.800/kg, jauh di bawah harga pasar. Ini beras premium tapi dijual dengan harga medium. Perlu dipastikan, beras SPHP ini bisa menjangkau seluas mungkin warga,” paparnya. 

Baca juga: Kualitas Beras Medium di Bandung Turun Meski Harganya Naik, Pembeli Banyak yang Komplain

Khudori juga menyinggung harga gabah di pasar melambung tinggi. 

“Info dari Jatim, misalnya, harga antara Rp 8.400 hingga Rp 8.800/kg gabah kering panen. Ini amat tinggi. Untuk jadi beras setidaknya harganya antara Rp 15.000 hingga Rp16.000/kg,” imbuhnya. 

Saat ini, harga eceran tertinggi (HET) beras jauh di bawah itu. Hal tersebut yang membuat pedagang beras dan penggilingan padi menjerit. 

“Karena itu, penting buat pemerintah lewat Badan Pangan Nasional untuk menimbang ulang HET beras,” kata dia. 

Kebijakan yang sudah berlaku sejak September 2017 itu perlu dievaluasi efektivitasnya di pasar seperti apa, termasuk dampaknya pada ndustri perberasan secara keseluruhan. 

“Dalam waktu yang sama, tidak ada salahnya buat Badan Pangan Nasional untuk menghitung ulang biaya produksi padi. Jangan-jangan harga gabah yang tinggi dan terus naik itu lantaran struktur ongkos produksi memang sudah berubah,” ucapnya. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved