Industri Tekstil dan Produk Tekstil Masih Pasang Surut Pasca Pandemi Covid-19
Pasca pandemi Covid-19, Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia masih mengalami pasang surut.
Penulis: Nazmi Abdurrahman | Editor: Siti Fatimah
TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Pasca pandemi Covid-19, Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia masih mengalami pasang surut. Tak sedikit pabrik tekstil terpaksa gulung tikar dan membuat ribuan pekerja terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
Komisaris Utama PT Sri Rejeki Isman (Sritex), Iwan Setiawan Lukminto mengatakan, saat ini ada peningkatan volume impor produk tekstil yang tidak sebanding dengan volume ekspor.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor TPT pada Januari hingga April 2023 mencapai 593.16 ton, tapi nilai impornya juga tinggi yaitu 559.08 ton.
Perbedaan volume tersebut membuat Indonesia seakan-akan surplus dalam industri TPT.
Baca juga: Industri TPT Menurun, Pemerintah dan DPR Siapkan Undang-undang Sandang
"Jangan senang dulu, karena impor juga kenyataannya volume sangat besar, tidak sebanding dengan volume ekspor. Ini membuat turunnya utilisasi industri TPT nasional," ujar Iwan dalam acara Indonesia Future Textile Partner Forum.
Menurutnya, produksi jumlah kain di dalam negeri masih kurang, sehingga banyak industri garmen yang memilih membeli kain dari luar.
Ketua Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita juga merasakan hal serupa.
Menurutnya, impor produk TPT yang harganya jauh lebih murah ketimbang dari dalam negeri salah satunya karena energi yang dipakai industri di Indonesia lebih mahal.
Mulai dari kebijakan penggunaan gas, batu bara, hingga listrik harga untuk pabrik lebih mahal dibandingkan negara lain seperti Tiongkok, Vietnam dan India.
"Di hilir bahan baku mahal karena biaya energi mahal dibandingkan negara lain. Cost ini yang seharusnya bisa diatur oleh pemerintah, agar harga energi untuk industri dalam negeri itu bisa lebih murah," ujar Redma.
Kondisi ini jelas berdampak pada daya saing industri ketika harus bersaing dengan produk murah dari luar negeri. Jika dibiarkan, kata dia, kondisi seperti ini gelombang penutupan pabrik akan terus memakan korban.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) Ristadi ikut khawatir ketika pemerintah tidak serius menangani persoalan industri TPT. Sebab pabrik yang selama ini memproduksi barang tekstil menyerap tenaga kerja sangat besar di Indonesia.
Industri TPT merupakan penyerap tenaga kerja yang besar. Pada tahun 2022, industri TPT menyerap 3,8 juta orang dan berkontribusi sebesar 21,11 persen terhadap penyerapan tenaga kerja industri manufaktur.
Hal ini didukung oleh beberapa kampus tekstil yang ada di Indonesia.
Dengan kondisi ini, KSPN sangat berharap ada kebijakan khusus agar produk impor TPT yang harganya sangat murah dibandingkan produk dari produsen dalam negeri bisa dikurangi.
Komisi I DPRD Jabar Ungkap Pemekaran KSU dan Penggabungan Wilayah Ke Kota Butuh Kejelasan Komitmen |
![]() |
---|
DPRD Jabar Kawal Agroforestri, Arief Maoshul: Petani Didorong Nikmati Bagi Hasil yang Adil |
![]() |
---|
TKD Jabar Turun, Pemprov Belum Akan Revisi RPJMD |
![]() |
---|
Dana TKD Jabar Turun Rp2,45 Triliun, DPRD Minta Pemprov Fokus pada Program Prioritas |
![]() |
---|
Bandung Zoo Ditutup Sementara, Pemkot Dorong Penyelesaian Damai Dua Pihak Yayasan |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.