Tentang UMK, Disnakertrans Jabar Menilai Gubernur Akan Tetap Berpegangan pada Permenaker 18
Pemerintah Provinsi Jawa Barat selalu berpatokan pada peraturan yang diterbitkan pemerintah pusat dalam menetapkan UMP dan UMK.
Penulis: Muhamad Syarif Abdussalam | Editor: Giri
Laporan Wartawan TribunJabar.id, Muhamad Syarif Abdussalam
TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Barat, Rahmat Taufik Garsadi, mengatakan, Pemerintah Provinsi Jawa Barat selalu berpatokan pada peraturan yang diterbitkan pemerintah pusat dalam menetapkan upah minimum provinsi (UMP) ataupun upah minimum kabupaten/kota (UMK).
Dia mengatakan, setelah Gubernur Jabar, Ridwan Kamil, menetapkan UMP Jabar 2023 sebesar Rp 1.986.670,17 atau naik 7,88 persen dari tahun sebelumnya, belum ada bupati atau wali kota di Jabar yang mengajukan UMK 2023.
"Sepertinya masih proses rapat di dewan pengupahan kabupaten/kota. Tapi ada juga yang sudah selesai namun masih di bupati/wali kota. Jadi secara resmi belum ada yang diserahkan ke provinsi," kata Garsadi di Bandung, Selasa (29/11/2022).
DFa mengatakan, memang ada sejumlah serikat pekerja atau buruh yang mengusulkan kenaikan UMK sesuai dengan perhitungan sendiri. Namun, Gubernur, menurutnya, akan tetap mengacu pada Permenaker Nomor 18 Tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023.
"Pak Gubernur sepertinya tetap taat kepada pemerintah. Kan di aturannya juga gubernur dapat menetapkan UMK dengan syarat-syarat tertentu, berbeda dengan UMP, gubernur wajib menetapkan," katanya.
Ia mengatakan, tidak dapat dipastikan apakah Gubernur akan menetapkan UMK, jika UMK yang diusulkan dari tingkat kota dan kabupaten tidak berlandaskan peraturan pemerintah pusat.
Baca juga: UMK Kabupaten Tasikmalaya Naik 7,44 Persen, Hasil Rapat Pleno dengan Serikat Buruh dan Pengusaha
"Kan yang kasihan jadinya buruh, kalau sudah begitu. Apalagi kalau perusahaannya tutup atau pindah, siapa yang bertanggung jawab," katanya.
Rahmat mengatakan jika pun pemerintah kota dan kabupaten menetapkan UMK sesuai Permenaker Nomor 18 Tahun 2022, kenaikan upah minimum sudah sangat lumayan tinggi karena kenaikannya di atas inflasi.
"Kemudian ada landasan hukumnya, karena kalau tidak ada sama sekali, perusahaan tidak bisa dipaksa untuk mengikutinya. Kemudian kalau di-PTUN-kan pun, hakim bisa langsung mengambil putusan sela tanpa menunggu sidang pengadilan," katanya.
Jika sudah ada putusan sela, katanya, maka upah minimum kabupaten atau kota yang tidak mengacu pada peraturan tersebut harus menggunakan upah minimum yang mengacu pada UMP 2023 atau UMK 2022.
"Ya itulah bagi kita pemerintah harus mengawalnya jangan terlalu mengikuti kepentingan-kepentingan. Karena dengan mengikuti Permenaker 18 pun, asosiasi dua pengusaha akan mengajukan uji materiel atau nanti ke PTUN. Tapi minimal UMK 2023 tetap harus dibayar sesuai keputusan gubernur, sampai ada putusan pengadilan yang inkrah," katanya.
Baca juga: Pemkab Subang Rekomendasikan Kenaikan UMK 2023 Sebesar 10 Persen, Ini Harapan Buruh
Di sisi lain, jika UMP 2023 masih menggunakan PP 36 tahun 2021 tentang Pengupahan seperti yang diharapkan pengusaha, maka UMP 2023 hanya naik 6,5 persen.
Sebagai bayangan, UMP Jabar 2022 yang menggunakan PP 36/2021 naik hanya 1,72 persen atau Rp 31.135,95 dari UMP 2021.
Konsekuensi lain, upah UMK maksimal naik hanya 3 persen, bahkan ada empat daerah yang tidak naik sama sekali karena berlaku faktor pembatas.