OPINI

Lampu Merah Inflasi

Sadar atau tidak sudah beberapa bulan ini kita dihadapkan dengan masalah ekonomi kenaikan harga-harga komoditas (tingkat inflasi).

Editor: Kisdiantoro
ISTIMEWA / DOKUMENTASI PRIBADI FACEBOOK
Acuviarta Kartabi, pengamat ekonomi Universitas Pasundan (Unpas). 

Oleh ACUVIARTA KARTABI
(Staff Pengajar di Fakultas Ekonomi & Bisnis UNPAS)

Namanya masalah selalu ada, kadang datang tidak diundang tapi pulangnya harus diantar.

Prinsip universalnya kalau ada masalah jangan dihindari, tapi dihadapi (diselesaikan). Jadi ketika datang masalah ekonomi, secepat kilat segera direspon cepat sehingga efeknya tidak betah berlama-lama.

Sadar atau tidak sudah beberapa bulan ini kita dihadapkan dengan masalah ekonomi kenaikan harga-harga komoditas (tingkat inflasi). Masalah ini menurut pendapat penulis penting untuk diwaspadai.

Kalau inflasi terlalu tinggi, efeknya bisa menyulut komplikasi penyakit ekonomi yang lain, sebut saja seperti meningkatnya kemiskinan, pengangguran dan masalah ekonomi rumah tangga konsumsi lainnya serta termasuk masalah di sektor produksi/usaha.

Baca juga: Di Tengah Inflasi Global, Investasi Properti Kian Moncer. Ini Perhitungannya!

Sebab kalau tingkat inflasi terus naik tanpa diimbangi dengan kenaikan pendapatan, daya beli bisa turun dan jika itu terjadi dampaknya semua pasti sudah pernah merasakanya. Nasib anggota rumah tangga konsumsi pasti tidak sama, ada anggota yang sanggup beli harga berapapun kalau ada uangnya, tapi ada juga yang tidak sanggup. Betul ngak?

Kembali ke tingkat inflasi, untuk tahun kalender Januari sampai Juli 2022 inflasi di Jawa Barat (Jabar) sudah mencapai 4,07 persen. Itu baru sampai Juli, sulit membayangkan jika bulan-bulan ke depan inflasi terus meningkat. Dalam jangka menengah, melihat dan membandingkannya sejak tahun 2018 semester 1 tahun 2022 ini yang tertinggi dalam 5 tahun terakhir.

Biasanya setelah hari raya Idul Fitri tekanan inflasi cenderung melambat, tahun ini tidak otomatis mereda. Tingkat inflasi juli 2022 bahkan mencapai 0,62 persen. Tekanan inflasi bulanan tinggi terlihat sejak Maret 2022 dan mencapai puncaknya 1,07 persen di bulan Ramadhan (April 2022).

Betul pada awalnya tren kenaikan inflasi di semester 1 tahun ini dikaitkan dengan meredanya dampak pandemi Covid-19, meningkatnya mobilitas penduduk setelah 2 tahun lebih banyak di rumah terus mulai keluar rumah berdampak ke berbagai permintaan komoditas barang dan jasa.

Meningkatnya mobilitas penduduk serta rumah tangga secara otomatis meningkatkan permintaan beragam komoditas.

Sayangnya sektor produksi juga tidak bisa langsung bergerak cepat, mengikuti pergerakan kenaikkan permintaan konsumsi rumah tangga. Alhasil bisa ditebak, harga komoditas otomatis melonjak karena kenaikan permintaan belum 100 persen diikuti dengan kenaikan penawaran (produksi).

Itu jalur pertama (1) inflasi pada masa setelah pandemi Covid-19, meski bicara hari ini kita mulai harap-harap cemas karena kasus aktif penderita Covid-19 mulai meningkat.

Jalur kedua (2) inflasi ternyata juga karena masalah yang sama seperti di Indonesia, hanya terjadi di berbagai belahan dunia yang lain. Meningkatnya permintaan global pasca pandemi mendorong kenaikan harga komoditas global. Kenaikan harga komoditas global mendorong produsen dan eksportir beberapa komoditas di dalam negeri lebih tertarik menjual ke luar negeri dibanding menjual di dalam negeri.

Kenaikan harga komoditas global yang ada kaitannya dengan sektor usaha di dalam negeri diantaranya minyak sawit (crude palm oil-CPO) dan batu bara. Makanya sejak pertengahan tahun lalu (2021) kita selalu dihadapkan pada persoalan kenaikan harga minyak goreng. Sebab akibat lainnya panjang kalau diceritakan.

Bicara soal CPO bukan hanya minyak goreng, banyak komoditas turunan yang olahannya mengandung CPO juga ikut naik. Kemudian batu bara, banyak negara tergantung sumber bahan baku energinya dari batu bara yang kita ekspor. Akibatnya pasokan batu bara untuk pembangkit listrik di dalam negeri sempat tersendat-sendat sehingga memaksa pemerintah pernah sebentar melarang ekspor batu bara. Kalau pasokan batu bara seret plus harganya naik urusannya dengan tarif listrik yang juga bisa jadi komponen inflasi.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jabar
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved