Mirip Herry Wirawan, Kakek Sukabumi Ini Cabuli 10 Bocah Perempuan, Kini Dijatuhi Hukuman Mati

Abah Heni dinyatakan terbukti bersalah telah melakukan tindak pidana pencabulan dengan korban lebih dari satu orang.

Penulis: Nazmi Abdurrahman | Editor: Ravianto
nazmi abdurrahman/tribunjabar
Sidang pengadilan Hendi atau Abah Heni, kakek dari Sukabumi yang mencabuli 10 bocah perempuan. Hakim tinggi PT Bandung yang diketuai Yuli Heryati itu, menganulir putusan 15 tahun penjara yang sebelumnya diputuskan hakim Pengadilan Negeri (PN) Cibadak Sukabumi menjadi hukuman mati. 

Laporan Wartawan Tribun Jabar, Nazmi Abdurahman.

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Hakim Pengadilan Tinggi Bandung menjatuhkan hukuman mati kepada Hendi alias Abah Heni, seorang kakek berusia (58) asal Sukabumi yang mencabuli 10 bocah perempuan.

Hakim Pengadilan Tinggi Bandung yang diketuai Yuli Heryati itu, menganulir putusan 15 tahun penjara yang sebelumnya diputuskan hakim Pengadilan Negeri (PN) Cibadak Sukabumi.

"Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana mati," ujar hakim dalam sidang yang digelar, Selasa (26/4/2022).

Sebelumnya, dalam perkara ini jaksa penuntut umum (JPU) mengajukan banding atas putusan hakim PN Cibadak Sukabumi yang memvonis Abah Heni 15 tahun penjara serta denda Rp 250 juta subsidair 3 bulan kurungan.

"Menerima permintaan banding terdakwa dan jaksa penuntut umum. Memperbaiki putusan pengadilan negeri Cibadak nomor 449/Pid.Sus/2021 PN Cbd tanggal 10 Maret 2022," katanya.

Abah Heni dinyatakan terbukti bersalah telah melakukan tindak pidana pencabulan dengan korban lebih dari satu orang.

"Menyatakan terdakwa Hendi alias Abah Heni tersebut di atas terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya dan melakukan kekerasan atau membujuk anak untuk melakukan perbuatan cabul menimbulkan korban lebih dari satu orang yang mengakibatkan luka berat, terganggu atau hilangnya fungsi alat reproduksi sebagaimana dakwaan gabungan," ucapnya.

Abah Heni dijerat Pasal 81 ayat (2) Jo Pasal 76D Undang-Undang RI nomor 17 tahun 2016 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2022 tentang Perlindungan Anak.

Pasal 82 ayat (4) Perpu nomor 1 tahun 2016 perubahan kedua atas UU nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak Jo Pasal 76E UURI nomor 23 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana serta peraturan perundang-undangan lain.

Herry Wirawan Ajukan Kasasi

Herry Wirawan, terpidana mati kasus pemerkosaan terhadap 13 santriwati mengajukan kasasi.

Upaya hukum itu ditempuh Herry Wirawan melalui kuasa hukumnya. 

"Iya (kasasi)," ujar Ira Mambo, kuasa hukum Herry Wirawan saat dihubungi, Selasa (26/4/2022). 

Menurut Ira, tak lama setelah menerima salinan putusan Pengadilan Tinggi (PT) Bandung, pihaknya langsung berkoordinasi dengan Herry. 

"Pertimbangannya upaya hukum," katanya. 

Saat ini, kata dia, materi kasasi sedang disusun sebelum diajukan ke Mahkamah Agung melalui Panitera Pengadilan Negeri (PN) Bandung. 

"Lagi diurus," ucapnya. 

Menurutnya, kasasi ini ditempuh untuk memperkuat putusan pada tingkat pertama atau tingkat kedua (banding). 

"Ketika kasasi itu beliau (hakim) memutus di luar putusan tingkat pertama atau kedua, kan, pertama seumur hidup, kedua mati dan restitusi. Nah, nanti kasasi ini misalnya lebih rendah atau lebih tinggi. Jadi, istilahnya menguatkan banding atau PN, atau dia bikin putusan sendiri. Nah, itu kewenangan hakim sendiri, jadi tidak meminta hukumannya diringankan," katanya.

PT Kabulkan Banding JPU

Pengadilan Tinggi Bandung atau PT Bandung mengabulkan banding JPU dengan menjatuhkan hukuman mati kepada Herry Wirawan. 

Dalam putusannya, Hakim PT Bandung beralasan bahwa dengan memperhatikan fakta hukum yang terungkap dalam persidangan majelis hakim tingkat pertama, maka majelis hakim tingkat banding berkeyakinan terhadap terdakwa harus diberikan pidana yang setimpal dengan perbuatannya. 

"Namun pidana tersebut yang dapat memberikan efek jera dan menjadi contoh bagi orang lain agar tidak melakukan perbuatan yang serupa dengan perbuatan terdakwa," ujar hakim PT Bandung, Herri Swantoro, dalam putusannya, Senin (4/4/2022). 

Praktis, putusan ini membatalkan putusan hakim PN Bandung yang sebelumnya hanya memvonis Herry Wirawam dengan hukuman seumur hidup. 

"Sehingga, Majelis Hakim tingkat banding berkeyakinan hukuman yang pantas dan patut dijatuhi terhadap diri terdakwa adalah hukuman mati, dengan harapan sebelum hukuman mati dijalankan terdakwa sempat dan dapat bertobat kepada Tuhan sesuai ajaran agama yang dianutnya," katanya. 

Menurutnya, hukuman terhadap terdakwa bukan untuk balas dendam atas perbuatannya. Tapi untuk memberi rasa keadilan terhadap korban. 

"Pidana yang dijatuhkan tersebut bukanlah sebagai upaya balas dendam atas perbuatan terdakwa, namun secara umum sebagai upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan serupa dikemudian hari dan dari kemungkinan pengulangan perbuatan serupa yang dilakukan oleh terdakwa," ucapnya.

Batalkan Penjara Seumur Hidup

Pada putusan tingkat pertama di Pengadilan Negeri Bandung, Herry Wirawan dihukum penjara seumur hidup dalam kasus rudapaksa 12 santriwati. 

Dalam putusannya di Pengadilan Negeri Bandung pada Selasa (15/2/2022), hakim menyatakan Herry Wirawan bersalah.

"Mengadili, menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara seumur hidup," ujar Yohanes Purnomo Suryo, Ketua Majelis Hakim yang memeriksa perkara tersebut.

Seperti diberitakan sebelumnya, jaksa Kejati Jabar menuntut Herry Wirawan dengan tuntutan hukuman mati. Kemudian, menuntut agar guru rudapaksa santriwati itu dijatuhi hukuman tambahan.

Yakni pidana tambahan pengumuman identitas dan kebiri kimia, hukuman denda Rp 500 juta dan restitusi kepada korban Rp 331 juta, pembubaran yayasan pesantren termasuk Madani Boarding School dan penyitaan aset dan barang bukti untuk dilelang.

Terkait hukuman kebiri kimia ini, hakim juga tidak sependapat dengan jaksa. Hakim merujuk pada Pasal 67 KUH Pidana yang berbyunyi

Jika orang dijatuhi pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, di samping itu tidak boleh dijatuhkan pidana lain lagi kecuali pencabutan hak-hak tertentu, dan pengumuman putusan hakim.

"Tidak mungkin setelah terpidana mati menjalani eksekusi mati atau menjalani pidana seumur hidup dan terhadap jenazah terpidana dilaksanakan kebiri kimia. Lagipula pasal 67 KUHP tidak memungkinkan dilaksanakan pidana lain apabila sudah pidana mati atau seumur hidup," katanya.

 

 

Sumber: Tribun Jabar
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved