Ada Kejanggalan di Vonis Hakim Untuk Herry Wirawan, Harusnya Bisa Dijatuhi Hukuman Mati

Guru ngaji bejat Herry Wirawan dihukum penjara seumur hidup oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Bandung pada Selasa (15/2/2022) kemarin.

Penulis: Sidqi Al Ghifari | Editor: Mega Nugraha
TRIBUN JABAR/DENI DENASWARA
VONIS SEUMUR HIDUP : Terdakwa Herry Wirawan menjalani putusan sidang di Pengadilan Negeri Bandung, Selasa (15/2). Terdakwa Herry Wirawan melakukan pencabulan terhadap belasan santri perempuan di bawah umur, majelis hakim memvonis penjara seumur hidup. 

Laporan Wartawan Tribun Jabar, Sidqi 
 
 
TRIBUNJABAR.ID, GARUT - Guru ngaji bejat Herry Wirawan dihukum penjara seumur hidup oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Bandung pada Selasa (15/2/2022) kemarin.

Putusan tersebut melukai perasaan keluarga korban rudapaksa karena lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) yang menuntut Herry dengan hukuman mati serta kebiri.

Rulli (29) salah satu keluarga korban yang berasal dari Garut Selatan mengatakan sangat kecewa dengan keputusan hakim yang menurutnya janggal.

Kejanggalan tersebut menurutnya karena unsur-unsur untuk hukuman mati sudah cukup terpenuhi bagi Herry Wirawan tapi hakim tidak berani untuk memutus hukuman mati.

"Jelas ini janggal, ada kejanggalan, gatau ya ini kenapa padahal unsur sudah terpenuhi," ujarnya saat dihubungi Tribunjabar.id, Rabu (16/2/2022).

Baca juga: VONIS Unik Kasus Rudapaksa: Herry Wirawan yang Berbuat, Negara yang Harus Ganti Rugi, Ini Alasannya

Ia menuturkan saat ini tengah berkomunikasi dengan kuasa hukum secara intens untuk memperjuangkan keadilan bagi keluarga korban.

Rulli yang sedari awal menghimpun para orang tua korban lain untuk menuntut keadilan, kini harus dibuat kecewa dengan keputusan tersebut.

"Dulu para orang tua korban sudah hampir menghakimi pelaku, namun bisa kami cegah, kami percayakan ke hukum,"

"Andai saja dulu mereka tidak ditahan, mungkin pelaku saat ini sudah habis, tapi ya kami menghargai pengacara dan hukum," ujarnya

Menurutnya keputusan hakim tersebut tidak mewakili perasaan keluarga yang sedari awal sangat berharap terdakwa dihukum mati.

Alasan Janggal

Seperti diberitakan, majelis hakim Pengadilan Negeri Bandung yang dipimpin Yohanes Purnomo Suryo membebaskan Herry Wirawan dari tuntutan hukuman mati.

Hakim kemudian menjatuhkan vonis pidana penjara seumur hidup.

Baca juga: Meski Dipenjara, Herry Wirawan Diberi Makan Gratis Oleh Negara Sedangkan Korban Menanggung Luka

"Kami mohon kepada jaksa penuntut umum untuk berani banding. Upaya banding adalah upaya hukum, mungkin ke depannya hasilnya seperti apa, yang jelas jaksa penuntut umum ada upaya dan komitmen," ujar Yudi Kurnia, kuasa hukum korban rudapaksa, di Garut, Selasa (16/5/2022).

Hukuman mati menurutnya sebagai pesan bahwa di negara Republik Indonesia ini tidak ada ruang untuk siapa pun yang melakukan kejahatan terhadap anak.

Apalagi, kata dia, aturan Undang-undang Perlindungan Anak sudah mengatur pidana hukuman mati bagi pelaku kejahatan seksual pada anak.

Yakni diatur di Pasal 81 ayat 5 Undang-undang Nomor 17 tahun 2016 yang menyatakan;

Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D, menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi dan/atau korban meninggal dunia pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 tahun.

Dasar hukum itulah yang jadi acuan bagi keluarga korban untuk meminta jaksa melakukan banding.

"Padahal unsur-unsur hukuman mati sudah sangat terpenuhi," kata Yudi Kurnia di Garut, Selasa (15/2/2022).

Baca juga: Korban Rudapaksa Lebih Dari Satu, Herry Wirawan Sebenarnya Bisa Dijatuhi Hukuman Mati, Tapi. . .

Negara yang Harus Bayar Ganti Rugi

Yang melakukan rudapaksa Herry Wirawan, namun ganti rugi untuk korban rudapaksa belasan santriwati dibebankan pada negara, dalam hal ini Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Itulah vonis unik yang dijatuhkan hakim Pengadilan Negeri Bandung di kasus Herry Wirawan. Pasalnya, ganti rugi untuk korban dibebankan pada negara.

Seperti diberitakan, Herry Wirawan divonis bersalah melakukan rudapaksa pada belasan santriwati hingga hamil. Dalam tuntutan jaksa, juga menuntut agar Herry Wirawan dijatuhi pidana tambahan berupa ganti rugi senilai Rp 331 juta.

Ketua Majelis Hakim yang menaganai perkara ini, Yohanes Purnomo Suryo, menyebut, biaya restitusi untuk para korban pemerkosaan Herry Wirawan dibebankan kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA). 

"Rp331 juta dibebankan kepada KPPPA, apabila tidak tersedia anggaran tersebut, maka akan dianggarkan dalam tahun berikutnya," ucap Yohanes Purnomo Suryo, Selasa (15/2/2022).

Majelis hakim berpendapat Herry Wirawan tidak dapat dibebani hukuman membayar restitusi karena divonis hukuman seumur hidup. 

Alasan negara harus membayar ganti rugi perbuatan Herry Wirawan, karena jakim mendasarkan itu pada Pasal 67 KUH Pidana yang berbunyi:

Jika orang dijatuhi pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, di samping itu tidak boleh dijatuhkan pidana lain lagi kecuali pencabutan hak-hak tertentu, dan pengumuman putusan hakim.

"Tidak mungkin setelah terpidana mati menjalani eksekusi mati atau menjalani pidana seumur hidup dan terhadap jenazah terpidana dilaksanakan kebiri kimia. Lagipula pasal 67 KUHP tidak memungkinkan dilaksanakan pidana lain apabila sudah pidana mati atau penjara seumur hidup," katanya.

"Sehingga total keseluruhan restitusi 12 orang anak korban berjumlah Rp331.527.186," katanya. 

Majelis hakim menyebut undang-undang belum mengatur kepada siapa restitusi bakal dibebankan apabila pelaku berhalangan untuk membayar restitusi tersebut. 

Sehingga hakim menyatakan restitusi sebesar Rp 331 juta itu merupakan tugas negara. Dalam hal ini, hakim menyebut KPPPA memiliki tugas untuk melindungi para anak korban. 

Sebelumnya JPU Kejati Jabar menuntut Herry Wirawan dihukum mati, serta sejumlah hukuman tambahan yakni pidana tambahan pengumuman identitas dan kebiri kimia, hukuman denda Rp 500 juta dan restitusi kepada korban Rp 331 juta, pembubaran yayasan pesantren termasuk Madani Boarding School dan penyitaan aset dan barang bukti untuk dilelang. 

Herry dituntut hukuman itu sesuai dengan Pasal 81 ayat (1), ayat (3) Dan (5) jo Pasal 76.D UU R.I Nomor 17 Tahun 2016 yentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat (1) KUHP sebagaimana dakwaan pertama.

Respon Pemerintah

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Bintang Puspayoga, mengatakan, pada prinsipnya ia menghormati putusan penjara seumur hidup meski putusan hakim tidak sama dengan tuntutan JPU.

"Saya mengharapkan setiap vonis yang dijatuhkan hakim dapat menimbulkan efek jera, bukan hanya bagi pelaku, tapi dapat mencegah terjadinya kasus serupa berulang," ujar Bintang Puspayoga.

Majelis Hakim menyatakan terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana sesuai dengan Pasal 81 ayat (1), ayat (3) dan (5) jo Pasal 76D UU RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat (1) KUHP sebagaimana dakwaan primer.

Selain itu, Majelis Hakim juga membebankan restitusi (ganti rugi) kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak terhadap anak dari 12 korban pemerkosaan terdakwa sebesar Rp331.527.186.

"Terhadap penetapan restitusi masih menunggu putusan yang inkrah dan saat ini KemenPPPA akan membahasnya dengan LPSK," katanya.

Bintang Puspayoga menegaskan putusan hakim terhadap penetapan restitusi tidak memiliki dasar hukum.

Dalam kasus ini, KemenPPPA tidak dapat menjadi pihak ketiga yang menanggung restitusi.

Merujuk pada Pasal 1 UU 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang dimaksud dengan restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga.

Sumber: Tribun Jabar
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved