Guru Rudapaksa Santri
Madani Boarding School yang Tak Lagi Berpenghuni, Kini Warga Sekitar Enggan Lewat Depan Sekolah
Kondisi Madani Boarding School yang berlokasi di Kompleks Yayasan Margasatwa, Kelurahan Pasir Biru, Kecamatan Cibiru, Kota Bandung kian memprihatinkan
Penulis: Cipta Permana | Editor: Darajat Arianto
Laporan wartawan TribunJabar.id, Cipta Permana
TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Kondisi Madani Boarding School yang berlokasi di RT 05 RW 08 Kompleks Yayasan Margasatwa, Kelurahan Pasir Biru, Kecamatan Cibiru, Kota Bandung kian memprihatinkan.
Bangunan berlantai dua dengan bercat biru muda serta aksen cat kuning tersebut tampak semakin tidak terawat sejak HW alias Herry Wirawan, pelaku tindak pidana kekerasan seksual terhadap belasan santriwatinya, ditangkap petugas kepolisian, dan kini mendekam di Rumah Tahanan Negara Klas I Bandung sejak 28 Oktober lalu.
Pada bagian depan, sebuah pagar besi dengan ornamen kayu memanjang ke bawah yang digunakan sebagai gerbang masuk utama sekolah tersebut, dalam kondisi terkunci dari dalam.
Selain itu, terdapat dua lahan kosong yang terpisahkan oleh jalan setapak menuju gerbang masuk sekolah tersebut.
Di bagian kanan, lahan kosong yang dibatasi dengan pagar bambu itu ditanami aneka tanaman berbuah, seperti kelapa, sukun, pisang, singkong, dan juga tanaman hias salah satunya talas. Sedangkan, lahan di bagian kiri dibiarkan kosong dan hanya ditumbuhi oleh rumput liar.
Tribunjabar.id pun mencoba melihat lebih dekat kondisi di dalam sekolah, dari balik sela gerbang utama, tampak sebuah saung atau gazebo bercat biru dengan ukuran cukup luas berada di samping kanan dari gerbang masuk.
Selain kondisinya gelap, namun tempat itu juga terasa sangat dingin karena tidak tertembus sinar matahari dari ufuk timur.
Selain tidak ada aktivitas kegiatan manusia, dan tampak beberapa sampah yang berserakan, namun juga terdengar suara anak kucing yang terus mengeong, seolah mencari induknya. Kondisi tersebut, membuat suasana di dalam gazebo semakin lirih.
Tepat di sisi kiri gazebo, terdapat sebuah dinding dengan kisaran tinggi 1,5 meter dan panjang tiga meter, yang dibangun dari susunan bata ringan.
Antara gazebo dan dinding yang disusun dari bata ringan, terpisahkan oleh jalan setapak yang mulai ditumbuhi rumput liar disertai genangan air dan beberapa sampah plastik, menjadi sebuah pemandangan yang seolah menuntun jalan menuju sebuah lapangan kecil beralaskan semen, dimana berdiri sebuah tiang bendera dan juga ring basket.
Kondisi lapangan itu pun dibasahi oleh genangan air dan di rumput liar.
Tepat di depan lapangan, akan dijumpai dua buah bangunan bertingkat yang terpisahkan oleh jalur tangga menuju lantai dua.
Di bangunan itu, terdapat beberapa ruangan, lengkap dengan daun pintu bercat cokelat serta daun jendela bercat putih, yang diduga dimanfaatkan sebagai ruangan kelas atau asrama bagi warga sekolah tersebut.
Salah seorang warga sekitar, Mawar (40) mengatakan, sejak kasus rudapaksa terhadap para santriwati terungkap, dan pelaku tindak pidana kekerasan seksual ditahan pihak kepolisian sekitar delapan bulan lalu.
Aktivitas kegiatan dari Madani Boarding School seolah lenyap dari hiruk-pikuk aktivitas masyarakat di sekitarnya.
"Kalau dulu sebelum kasus itu terungkap dan sekolah ini belum ditutup, warga disini masih suka mendengar ada aktivitas di dalam sana, seperti pengajian dan marawisan. Tapi sejak pelaku di tangkap polisi dan para santri di pulangkan ke daerahnya masing-masing, disini sepi aja kayak sekarang ini," ujarnya saat ditemui di depan Madani Boarding School, Selasa (14/12/2021).
Karena tidak ada aktivitas apapun, dan aliran listrik yang diputus oleh pihak PLN, maka beberapa warga sekitar menyebutnya sebagai bangunan angker.
Bahkan, tidak sedikit, warga yang memilih menempuh jalan memutar menuju rumahnya agar tidak melewati sekolah tersebut.
"Malahan kalau malam hari suasananya lebih kerasa seperti rumah hantu. Malahan anak-anak kecil di sini juga, yang biasanya suka main bola di lapangan samping Masjid Al-Arief atau di seberang depan sekolah itu (Madani Boarding School), sekarang mulai jarang, katanya takut," ucapnya.
Mawar mengaku, Ia dan warga sekitar tidak pernah menduga dan menaruh curiga apapun, bahwa sekolah yang disebut sebagai pesantren itu merupakan saksi bisu dari praktek tindak kekerasan seksual yang dilakukan pelaku terhadap para santriwati di dalamnya.
Sebab menurutnya, meskipun berada di tengah permukiman penduduk, namun aktivitas dan sosialisasi dari pelaku dan para korban pun sangat tertutup dari warga sekitar. Bahkan, Ia melihat para santri yang keluar hanya untuk membeli sesuatu di warung terdekat.
"Mereka itu sangat tertutup, baik itu aktivitasnya atau juga komunikasinya dengan warga sekitar. Makanya, kalau pun mereka (santriwati) keluar cuma beli apa gitu ke warung terus balik lagi, engga pernah ngobrol atau apa gitu, pokoknya jalannya nunduk terus, kayaknya orang yang ada masalah, kelihatannya murung gitu," ujarnya.
Selain itu, yang membuat warga semakin miris adalah, para santriwati, beberapa kali terlihat tengah melakukan pekerjaan seperti pekerja proyek bangunan, yang seharusnya dilakukan oleh laki-laki.
Baca juga: Pak Uu: Jabar Berencana Bentuk Dewan Pengawas Pesantren, Akan Ada Tim Layak Santri Juga
"Pernah kita juga lihat anak-anak itu kok lagi ngangkutin bata dari bak mobil material yang datang, terus lagi ngaduk semen, ngecat tembok dan kegiatan lainnya yang seperti pekerja bangunan lah, yang harusnya itu semua dikerjakan laki-laki. Kita mau bantu juga bingung, soalnya kalau ditanya juga banyaknya diem aja, engga pernah ngobrol atau apa gitu, jadi cuma bisa kasihan aja lihatnya, soalnya," ucapnya.
Terkait, jumlah santriwati yang tinggal di Madani Boarding School, Mawar mengatakan jumlahnya sekitar 23-25 orang.
Hal itu di ketahui dari beberapa warga sekitar yang kerap mengirimkan makanan dalam rangka kegiatan syukuran atau acara ulangtahun anaknya.
"Jumlahnya mereka (santriwati) itu sekitar 23-25 orangan lah, engga nyampe 30 orang. Soalnya, kadang warga sini yang lagi punya rejeki lebih atau ada syukuran apa suka ngasih-ngasih makanan, misalnya nasi kuning atau apa gitu ke sana, dan jumlahnya rata-rata selalu segitu, jadi yang mau ngasih biasanya nanya dulu ke santri yang ada di luar, 'di dalam lagi ada berapa orang' jadi jumlah makannya di sesuaikan," ujar Mawar.
"Kalau misalnya jumlahnya berkurang, jadi 21 atau 20, katanya santri lain lagi dipanggil ke pusat (ke Antapani)," ujarnya menambahkan.
Ia dan warga sekitar pun mengaku kesal terhadap pelaku dan meminta aparat penegak hukum memberikan hukuman seberat-beratnya sesuai aturan yang berlaku.
"Tujuan kita dan keluarganya masukin anak ke pesantren tuh kan biar agamanya pinter, bisa ngaji, bisa dakwah, apalagi yang datang dari jauh. Ini bukannya jadi pinter, malah pulang-pulang kehormatannya di rusak sama gurunya sendiri. Engga kebayang kalau itu (korbannya) keluarga saya atau warga sini, dah digimanain kali tuh dia (pelaku) sama warga sini. Mudah-mudahan di hukum seberat-beratnya lah, engga usah di keluarin lagi dari tahanan, biar tahu rasa," katanya. (*)