Kebiri Bukan Hukuman Tapi Pengobatan, Herry Wirawan si Predator Santriwati Pun Tak Bisa Dihukum Mati

Herry Wirawan si guru pesantren predator anak santriwati disumpah serapahi atas perbuatannya; penjara, dihukum mati hingga kebiri.

Penulis: Mega Nugraha | Editor: Mega Nugraha
tribunnews.com
Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel. 

TRIBUNJABAR.ID,BANDUNG- Herry Wirawan si guru pesantren predator anak santriwati disumpah serapahi atas perbuatannya; penjara, dihukum mati hingga kebiri.

Herry Wirawan yang memperkosa 21 santriwati sejak 2016 itu baru terungkap pada 2021 setelah diungkap Polda Jabar, diadili di Pengadilan Negeri Bandung sejak November dan baru terungkap ke publik pada 7 Desember 2021.

Saat ini, persidangan kasus biadab itu masih bergulir. Herry Wirawan dituntut agar dijatuhi hukuman mati.

Baca juga: Masa Depan Guru Bejat Herry Wirawan di Ujung Tanduk, Banyak Desakan Beri Hukuman Kebiri

Namun, dakwaan jaksa untuk Herry Wirawan tidak mengatur ancaman hukuman mati untuk si predator anak ini.

Dalam dakwaan jaksa, Herry Wirawan didakwa Pasal 81 ayat (2), ayat (3) juncto Pasal 76D UU RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP. Ancaman hukuman sejauh ini 15-20 tahun penjara.

Pasal 81
Ayat 1
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat 3 tahun dan denda paling banyak Rp 300 juta.

Baca juga: Istri Herry Wirawan Tidak Terlibat Kasus Rudapaksa Santri, Peristiwa Terjadi Sejak 2016 hingga 2021

Ayat 2
Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Baca juga: Kenapa Herry Wirawan Tak Minta 8 Santriwati Hamil Untuk Aborsi, Jawabannya Demi Duit!

Ayat 3
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 76 D

Setiap Orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Melihat dakwaan jaksa untuk Herry Wirawan, tidak ada ancaman hukuman mati. Melainkan maksimal 15 tahun penjara dan paling rendah 3 tahun.

Namun, berlaku Pasal 81 ayat 3 yang memungkinkan ancaman hukuman bagi Herry Wirawan bertambah sepertiga dari 15 tahun karena pelaku pemerkosaan santriwati itu berprofesi sebagai pendidik. Artinya, ancaman hukuman maksimal jadi 20 tahun pidana penjara, tidak ada pidana mati.

Kebiri

Lantas, publik meminta agar Herry Wirawan, selain harus dipenjara maksimal, juga harus dihukum kebiri.

Pemerintah sudah menerbitkan PP Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Alat Elektronik, Rahbilitas dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak.

Namun, bagi ahli psikologi forensik Reza Indragiri Amriel, yang juga konsultan Lentera Anak Foundation, kebiri itu bukan sebagai hukuman.

Ia mengamati, masyarakat murka dan mendesak oknum guru bejat di Bandung dikebiri. Kebiri dianggap sebagai hukuman pedih, menyiksa, yang setimpal dengan kejahatan si predator.

"Itu jelas salah kaprah. Kebiri di Indonesia tidak diposisikan sebagai hukuman, melainkan sebagai perlakuan atau penanganan therapeutic. Jadi, bukan menyakitkan, kebiri justru pengobatan," kata Reza Indragiri Amriel saat dihubungi pada Sabtu (11/12/2021).

Wajar jika masyarakat ingin Herry Wirawan dihukum mati karena melihat perbuatannya yang biadab. Namun, hukuman mati untuk saat ini jadi sulit.

"Kalau masyarakat mau predator anak dibikin sakit sesakit-sakitnya, ya hukuman mati saja. Tapi perlu revisi dulu terhadap UU Perlindungan Anak," katanya.

Kata dia, kebiri therapetic itu menekan resiko residivisme atau mencegah kejadian berulang.

"Tapi kebiri yang manjur seperti itu adalah kebiri yang dilakukan berdasarkan permintaan pelaku sendiri. Bukan keputusan sepihak dari hakim yang mengabaikan kehendak si predator anak. Kalau dia dipaksa kebiri, bersiaplah kelak menyambut dia sebagai predator mysoped. Pemangsa super buas, super ganas, itulah dia nantinya," ujar Reza.

Ia membandingkan kasus itu dengan Emon, terpidana kasus predator anak di Sukabumi.

"Sebelum dia dijebloskan ke penjara sekian tahun silam. Dia punya dua cita-cita kelak setelah keluar dari penjara: menjadi penyanyi dangdut dan bikin pesantren. Mari kita tanya Kemenkumham, bagaimana proses rehabilitasi dan reintegrasi Emon? Kementerian ini luput dari tagihan masyarakat," katanya.

Sumber: Tribun Jabar
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved