Bahas UMK, Ridwan Kamil Sebut PP No 36 Bikin Kepala Daerah Tidak Bisa Tetapkan Sendiri Upah Buruh
Sayangnya, PP 36 tahun 2021 tentang Pengupahan secara substansial mencabut kewenangan kepala daerah dalam menentukan sendiri upah buruh 2022.
Penulis: Muhamad Syarif Abdussalam | Editor: Seli Andina Miranti
Laporan Wartawan TribunJabar.id, Muhamad Syarif Abdussalam
TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengatakan pihaknya sudah mendengarkan aspirasi dari buruh mengenai penetapan upah minimum kabupaten/kota atau UMK 2022.
Namun sayangnya, PP No 36 tahun 2021 tentang Pengupahan secara substansial mencabut kewenangan kepala daerah dalam menentukan sendiri upah buruh 2022.
"Ada yang tanya, apakah aspirasi buruh diberi waktu dan didengarkan. 60 menit kami bersama Kapolda Jabar menyimak dan mendengarkan walaupun secara daring saat pimpinan serikat buruh berkumpul di Hotel Preanger. Empat pimpinan serikat buruh diberi kesempatan menyampaikan uneg-unegnya terkait pengupahan secara panjang lebar," kata Ridwan Kamil melalui akun instagramnya.
Baca juga: Rekomendasi Kenaikan Upah Buruh di Purwakarta Sudah Diberikan Tanpa Diskresi Bupati, Ini Besarannya
Namun, katanya, PP No 36 tahun 2021 tentang Pengupahan secara substansial mencabut kewenangan kepala daerah dalam menentukan sendiri upah buruh 2022.
Saat demonstrasi buruh di Gedung Sate pun, kata Ridwan Kamil, Wagub Jabar Uu Ruzhanul Ulum sudah menyediakan waktu untuk dialog tambahan namun ditolak oleh perwakilan buruh.
"Karena pengupahan masuk kategori Program Strategis Nasional, maka semua daerah diwajibkan menggunakan rumus yang sama dari Kemenaker yang hasilnya diumumkan. Termasuk sanksi pemberhentian permanen bagi kepala daerah yang melanggar," katanya.
Ia berharap tahun depan rumus penetapan UMK ini bisa diperbaiki dan lebih memberi ruang pada dinamika dan kearifan lokal pada kesejahteraan buruh di daerah.
"Dan itulah yang terjadi di seluruh wilayah Indonesia. Semoga tahun depan rumusnya bisa diperbaiki dan lebih memberi ruang pada dinamika dan kearifan lokal pada kesejahteraan buruh," katanya.
Sebelumnya, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil pada Selasa (30/11/2021) telah menetapkan besaran nilai UMK di Provinsi Jawa Barat melalui Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor: 561/ Kep.732-Kesra/ 2021 Tanggal 30 November 2021 tentang Upah Minimum Kabupaten/Kota di Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2022.
Baca juga: UU Cipta Kerja Dinyatakan Inkonstitusional, Ridwan Kamil Koordinasi dengan Menaker Soal Upah Minimum
Keputusan ini menyatakan upah minimum di 27 kota dan kabupaten di Jabar sebagai berikut:
1 Kota Bekasi Rp 4.816.921,17
2 Kabupaten Karawang Rp 4.798.312,00
3 Kabupaten Bekasi Rp 4.791.843,90
4 Kota Depok Rp 4.377.231,93
5 Kota Bogor Rp 4.330.249,57
6 Kabupaten Bogor Rp 4.217.206,00
7 Kabupaten Purwakarta Rp 4.173.568,61
8 Kota Bandung Rp 3.774.860,78
9 Kota Cimahi Rp 3.272.668,50
10 Kabupaten Bandung Barat Rp 3.248.283,28
11 Kabupaten Sumedang Rp 3.241.929,67
12 Kabupaten Bandung Rp 3.241.929,67
13 Kabupaten Sukabumi Rp 3.125.444,72
14 Kabupaten Sumedang Rp 3.064.218,08
15 Kabupaten Cianjur Rp 2.699.814,40
16 Kota Sukabumi Rp 2.562.434,01
17 Kabupaten Indramayu Rp 2.391.567,15
18 Kota Tasikmalaya Rp 2.363.389,67
19 Kabupaten Tasikmalaya Rp 2.326.772,46
20 Kota Cirebon Rp 2.304.943,51
21 Kabupaten Cirebon Rp 2.279.982,77
22 Kabupaten Majalengka Rp 2.027.619,04
23 Kabupaten Garut Rp 1.975.220,92
24 Kabupaten Kuningan Rp 1.908.102,17
25 Kabupaten Ciamis Rp 1.897.867,14
26 Kabupaten Pangandaran Rp 1.884.364,08
27 Kota Banjar Rp 1.852.099,52
Upah Minimum Kabupaten/Kota ini berlaku untuk mulai dibayarkan pada tanggal 1 Januari 2022 dan hanya berlaku bagi pekerja dengan masa kerja kurang dari satu tahun.
Pengusaha diminta menyusun dan memberlakukan struktur dan skala upah dalam menentukan besaran nilai upah yang dibayarkan terhadap pekerja dengan masa kerja lebih dari satu tahun.
Pengusaha pun dilarang membayar upah lebih rendah dari Upah Minimum Kabupaten/Kota, kecuali bagi pelaku usaha mikro dan kecil yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh di perusahaan.
Baca juga: MK Putuskan UU Cipta Kerja Inkonstitusional, Buruh Jabar Minta Kepala Daerah Revisi Upah Minimum
Pengusaha yang telah membayar upah lebih tinggi dari ketentuan Upah Minimum Kabupaten/Kota dilarang mengurangi dan/atau menurunkan upah pekerjanya, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Menurut Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Barat Setiawan Wangsaatmadja, penetapan ini tidak terlepas dari beberapa dasar peraturan, yaitu Undang-undang (UU) nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, UU nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah RI nomor 36 tahun 2021 tentang Pengupahan serta beberapa surat Menteri Ketenagakerjaan RI.
Keputusan ini kemudian tidak terlepas dari rekomendasi besaran penyesuaian nilai upah minimum kabupaten/kota dari 27 bupati dan wali kota seluruh Jawa Barat, juga berita acara Dewan Pengupahan.
“Tentu saja bahwa hal ini menjadikan sebuah dasar, sehingga Keputusan Gubernur dikeluarkan,” ucap Setiawan melalui siaran tertulis yang diterima, Rabu (1/12/2021).
Menurut Setiawan, Gubernur Ridwan Kamil turut bersimpati dan berempati terhadap hal ini karena rumus-rumus di dalam perhitungan dikeluarkannya UMK ini didasarkan kepada Peraturan Pemerintah dan tidak diberikan ruang terhadap diskresi daerah untuk menetapkan lebih dari itu.
“Terkait dengan putusan MK, menyatakan bahwa pemerintah harus memperbaiki peraturan ini di dalam dua tahun. Namun demikian selama dua tahun ini seluruh peraturan yang terkait dengan UU Cipta Kerja dan seluruh turunannya masih tetap berlaku termasuk PP 36 yang mendasari terkait dengan perhitungan UMK ini,” tuturnya.
Setiawan menegaskan bahwa tugas gubernur hanya menetapkan terkait dengan UMK ini dan gubernur tidak dapat merevisi bahkan mengoreksi terkait dengan rekomendasi yang telah disampaikan oleh seluruh bupati/wali kota.
Baca juga: Tuntut Kenaikan Upah di Tahun 2022, Ribuan Buruh Padati Alun-alun Subang
“Oleh karena itu, surat rekomendasi yang disampaikan oleh bupati/wali kota yang saat ini sudah seluruhnya sesuai dengan PP 36, kemudian gubernur menetapkan hal tersebut,” ujarnya.
Setiawan mengharapkan, untuk ke depannya pihaknya merekomendasikan kepada pemerintah pusat agar dapat melibatkan pemerintah daerah lebih jauh khususnya di dalam penghitungan UMK ini.
“Karena kita tahu kondisi ekonomi dan dinamika antara daerah satu dengan daerah lainnya sangat bervariasi. Oleh karena itu kami sangat berharap, bahwa pelibatan pemerintah daerah di masa yang akan datang bisa terlibat lebih jauh,” tuturnya.