Penjelasan Dokter, Cucu Warga KBB Tidak Bisa Tidur Selama 7 Tahun Sehingga Diberi Obat Psikotoprika
Perempuan asal Kabupaten Bandung Barat tidak bisa tidur selama 7 tahun. Dokter spesialis kejiwaan ternyata pernah menangani pasien tersebut
Penulis: Hilman Kamaludin | Editor: Mega Nugraha
Laporan Wartawan Tribun Jabar, Hilman Kamaludin
TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG BARAT - Dokter spesialis kejiwaan RSUD Cikalongwetan dr Zulfitriani SpKJ bakal melakukan assessment terhadap Cucu (45).
Dia merupakan warga Kampung Warung Jati Desa Ciptagumati, Kecamatan Cikalongwetan, Kabupaten Bandung Barat (KBB) yang tidak bisa tidur selama 7 tahun.
Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui bagaimana kondisi kesehatan pasien yang mengaku tidak bisa tidur sejak 2014 tersebut apalagi dia sempat mengonsumsi obat agar bisa mengatasi kecemasannya.
"Untuk penjelasan tentang mengeluh tidak bisa tidur selama tujuh tahun itu mungkin perlu dianalisa lagi karena hal tersebut kemungkinan adanya gangguan fisik lainnya sehingga sebaiknya pasien dibawa kembali berobat ke rumah sakit," ujarnya melalui pesan singkat, Rabu (1/9/2021).
Menurutnya, upaya tersebut memang perlu dilakukan karena kasusnya sudah lama dan bisa saja kondisi dan gejalanya sudah semakin memburuk.
"Itu tahun 2014 ya, jadi kasusnya sudah lama banget. Bisa jadi sudah terjadi perburukan gejala pada pasien. Untuk diagnosanya apa, tidak untuk disebarluaskan karena kode etik," katanya.
Permasalahan yang dialami seseorang hingga mengganggu kemampuannya untuk tidur pada dasarnya adalah perasaan cemas dan depresi. Sehingga untuk pengobatan biasanya akan diterapi dengan periode waktu tertentu sehingga tidak boleh diputus obat begitu saja.
"Dan selama sumber cemas dan stresnya tidak terkoreksi maka akan timbul gejala gangguan tidurnya. Gangguan tidur adalah sebagian gejala yang tampil dalam masalah cemas dan depresi, biasanya banyak gejala lain yang terabaikan seperti tidak nafsu makan, tidak bisa konsentrasi, suka menyendiri, mudah tersinggung, mudah marah, dan lain sebagainya," ucap Zulfitriani.
Sebetulnya, kata Zulfitriani, yang bersangkutan baru berobat pada bulan Juli 2019 dan berhenti berobat pada bulan Mei 2021.
"Pasien tersebut baru berobat pada bulan Juli 2019 dan berhenti berobat di bulan Mei 2021 dan dari riwayat pasien tidak berobat secara teratur," katanya.
Untuk pemberian obat, sebagai psikiater ia memastikan jika obat yang bakal diberikan pada seorang pasien tentunya sesuai dengan dosis terapi sehingga tidak bakal menyebabkan ketergantungan karena akan terus dipantau dosisnya oleh dokter.
Baca juga: Bupati KBB Nonaktif KBB Aa Umbara Bisa Bawa Pulang Rp 35 Juta Saat Menjadi Narasumber di Dinas
"Klien saat mengatakan ketergantungan itu adalah stigma karena pasien diberikan obat sesuai. Untuk mencapai kategori sembuh harus melewati fase stabilisasi obat dulu sehingga keluhan berkurang dan bahkan tidak dirasakan lagi. Ini tercapai dengan kontrol pengobatan yang teratur," ujar Zulfitriani.
Pasien juga mengaku jika obat yang dikonsumsinya merupakan obat keras. Menurutnya, obat dikategorikan keras atau tidak merupakan asumsi masyarakat. Dalam kasus ini, obat yang diberikan memang fungsi dan kerja obatnya di susunan syaraf.
"Satu lagi obat golongan psikotropika yang diberikan oleh ahlinya (psikiater) adalah dosis yang terukur dan terpantau sehingga terhindar dari ketergantungan. Adapun jika memang harus diberikan itu karena kebutuhan pasien," katanya.