Selain Ancaman Gempa dari Sesar Lembang, Bandung Hadapi Bahaya Lain, Apa Itu?

Tingkat konsumsi air yang tidak terkontrol mulai memicu terjadinya penurunan muka tanah (land subsidence).

Editor: Ravianto
Tribun Jabar/Gani Kurniawan
PENURUNAN MUKA TANAH - Kawasan Gedebage, Kota Bandung, menjadi salah satu yang terus mengalami penurunan muka tanah sejak 20 tahun terakhir. Penurunan muka tanah di Bandung Raya rata-rata mencapai 20 sentimeter per tahun. 

Laporan Wartawan Tribun Jabar, Cipta Permana

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Ancaman serius melanda wilayah Bandung Raya. Selain ancaman gempa dari sesar Lembang, kini bahaya lain mengintai.

Tingkat konsumsi air yang tidak terkontrol mulai memicu terjadinya penurunan muka tanah (land subsidence).

Penurunannya bahkan yang tercepat di dunia. Pakar geodesi dan geomatika Institut Teknologi Bandung, Dr Heri Andreas ST MT, mengatakan, berdasar hasil penelitiannya, rata-rata penurunan muka tanah ini mencapai 20 sentimeter per tahun.

Heri mengatakan, riset tentang penurunan muka tanah ini sudah mereka lakukan sejak tahun 2000. Dari penelitian diketahui, tingkat penurunan antarwilayah bervariasi.

 Retakan Tanah Ancam Desa Pusparahayu Tasikmalaya, Puluhan Rumah Rusak, Ratusan Lainnya Terancam

Daerah Leuwigajah, misalnya, laju penurunan tanahnya per tahun sekitar 12 sentimeter. Ini berarti, dalam sepuluh tahun ambles sedalam 1,2 meter.

Namun, daerah lainnya semisal Gedebage, penurunan tanahnya berkisar 8-10 sentimeter per tahun.

Di Bandung Raya, kata Heri, penurunan muka tanah sudah terjadi sejak tahun 1980-an.

"Jika dirata-ratakan, penurunan tanah di wilayah Bandung Raya ini sudah mencapai 3-4 meter," ujarnya kepada Tribun saat dihubungi melalui pesawat telepon, Rabu (4/12/2019).

Dalam penelitiannya, menurut Heri, tim menggunakan dua metode pengukuran. Pertama, dengan menggunakan citra satelit dan alat global positioning system (GPS).

Kedua, tim juga mengumpulkan bukti-bukti penurunan tanah di lokasi, seperti adanya bangunan miring, jembatan hancur, retakan lantai hingga tembok, atau jalan retak.

Heri mengatakan, berdasarkan penelitiannya, penurunan permukaan tanah ini juga berdampak pada kedalaman air tanah. Berdasarkan model penelitiannya, jika tanah mengalami penurunan satu meter, berarti air tanahnya turun atau minus 20 meter.

"Jika turunnya empat meter, artinya air tanahnya sudah ada yang minus 80 meter. Padahal, minus 45 meter saja sudah masuk dalam kategori rusak," ujar Heri.

Karena itu, kata Heri, hanya ada satu solusi untuk mengatasi hal ini, yaitu penghentian eksploitasi air tanah yang tidak terkontrol.

Pembatasan eksploitasi air tanah paling tidak akan menghentikan potensi penurunan muka tanah. Namun, upaya itu bisa mencegah krisis air di masa depan.

 Wakil Bupati Minta PVMBG Teliti Kasus Retakan Tanah di Garut

Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved