Jual Beli Kursi hingga Manipulasi KK pada PPDB 2019, Laporannya Sudah Diterima Ombudsman

Memasuki hari ketiga pendaftaran, Ombudsman RI Perwakilan Jawa Barat sekurangnya sudah menerima 24 laporan masyarakat

Penulis: Hilda Rubiah | Editor: Ichsan
Tribunjabar.id/Hilda Rubiah
Suasana PPDB di SMAN 8 Bandung, Jalan Selontongan No 3, Turangga, Lengkong Kota Bandung, Selasa (18/6/2019) 

Laporan Wartawan Tribun Jabar, Hilda Rubiah

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2019 jenjang SMA/SMK/SLB telah dibuka, Senin (17/6/2019).

Memasuki hari ketiga pendaftaran, Ombudsman RI Perwakilan Jawa Barat sekurangnya sudah menerima 24 laporan masyarakat terkait penyelenggaraan PPDB tersebut.

Dari 24 laporan tersebut, dua di antaranya adalah dugaan praktik jual beli kursi dan Kartu Keluarga (KK) titipan.

Menurut Ombudsman, kedua praktik tersebut menjadi laporan rutin dalam penyelenggaraan PPDB.

Ombudsman telah menerima laporan yang mengindikasikan adanya jual beli kursi antara oknum pihak sekolah dan orang tua calon siswa.

Namun, sejauh ini, Ombudsman masih mengumpulkan bukti memadai dari sang pelapor.

Diakui Kepala Ombudsman RI Perwakilan Jawa Barat, Haneda Sri Lastoto, pihaknya masih terus berupaya mendalaminya.

Saat ini pihaknya belum dapat memastikan kebenaran dua laporan tersebut.

Haneda mengatakan jika benar masih terjadi jual beli kursi, maka hal tersebut menjadi kelemahan mendasar penyelenggaraan PPDB yang sejatinya adil.

Sosok Pelaku Pertunjukan Adegan Ranjang di Hadapan Bocah Dimata Para Tetangga

"Tapi kalau ini masih terjadi, kelemahan yang masih sangat mendasar gitu loh. Sistem zonasi dengan sistem online itu memastikan mekanismenya itu tidak ada orang berinteraksi langsung," ujar Kepala Ombudsman RI Perwakilan Jawa Barat, Haneda Sri Lastoto, kepada Tribun Jabar, Rabu (19/6/2019).

Dijelaskan Haneda, kecurangan demi kecurangan yang terjadi justru dilakukan oleh masyarakat itu sendiri.

Hal itu terjadi lantaran belum hilangnya stigma sekolah favorit di kalangan masyarakat.

Kerap kali oknum orang tua maupun pihak sekolah masih melakukan transaksi jasa demi bisa menyekolahkan putra dan putrinya di sekolah yang dinilai mereka favorit.

Padahal, lanjut Haneda mengatakan, dengan sistem zonasi tersebut pemerintah bermaksud agar stigma tersebut berangsur hilang dibenak masyarakat.

Terkait kasus dugaan manipulasi KK rentan terjadi di sekolah yang tadinya di nilai favorit, dua di antaranya di kota Bandung adalah SMA 3 dan SMA 5, kendati demikian, Haneda mengatakan kasus tersebut pun sejatinya juga terjadi secara nasional.

"Problemnya justru di situ. Ini bukan hanya di Bandung, dari beberapa laporan di 34 provinsi lain juga punya pemikiran sama," ujarnya.

Haneda menuturkan, banyak masyarakat menolak sistem zonasi lantaran merasa kesempatan menjadi terbatas untuk masuk sekolah favorit.

Saksi Fakta Prabowo-Sandi Ungkap Kelemahan Situng KPU, Sebut Seharusnya Sudah Tak Terjadi

Oleh sebab itu, pada akhirnya sejumlah masyarakat mengesampingkan sistem hingga menerobos aturan.

Haneda mengatakan, praktek jual beli KK memang rentan terjadi dan menjadi catatan tiap tahun.

"Kami satu atau dua minggu lalu sebenarnya sudah menerima laporan, ada warga melaporkan pada kami bahwa praktek jual beli KK sudah terjadi," ungkapnya.

Saat menerima laporan tersebut, diakui dirinya terkejut mendapati harga yang ditarif cukup mahal.

"Harganya waktu disampaikan ke kami sekitar 11 juta, sampai segitu mahalnya," ujarnya.

Sumber: Tribun Jabar
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved