Aliran Uang Meikarta untuk Pejabat Pemprov Jabar Akan Dibuktikan di Persidangan
Aliran uang SGD 90 ribu ke pejabat di Pemprov Jawa Barat akan dibuktikan di persidanan.
Penulis: Mega Nugraha | Editor: taufik ismail
Laporan Wartawan Tribun Jabar, Mega Nugraha Sukarna
TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Pejabat di Pemprov Jabar, Kepala Seksi Pemanfaatan Ruang pada Bidang Pemanfaatan Ruang Dinas Bina Marga Provinsi Jabar, Yani Firman disebut menerima uang SGD 90 ribu, dari terdakwa Fitradjadja, Henry Jasen, dan Taryudi dari PT Mahkot Sentosa Utama, perusahaan pelaksana pembangunan proyek Meikarta.
Pemberian uang dilakukan pada November 2017.
Setelah pemberian uang itu, pada 23 November, Gubernur Jabar Ahad Heryawan mengeluarkan surat keputusan nomor 648 / Kep.1069-DPMPTSP / 2017 tentang Delegasi Pelayanan dan Penandatanganan Rekomendasi Pembangunan Komersial Area Proyek Meikarta.
Terkait hal itu, penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus suap perizinan Meikarta, akan menghadirkan semua nama-nama yang tertulis di dakwaan.
"Semua yang terkait dalam dakwaan akan kami hadirkan dalam persidangan, baik yang menerima (Yani Firman) terkait peristiwanya mulai dari (suap) IPPT, RDTR, proteksi kebakaran, kajian lingkungan hidup, IMB, semua akan kami tampilkan," ujar penuntut uum KPK, Yadyn, seusai sidang eksepsi terdakwa Billy Sindoro, Taryudi, dan Henry Jasmen di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Bandung, Jalan LLRE Martadinata, Rabu (26/12/2018).
Saat ditanya soal keterkaitan uang sebesar SGD (dolar Singapura) 90 ribu jadi alasan keluarnya SK Gubernur Jabar Ahmad Heryawan mengeluarkan surat keputusan nomor 648/Kep.1069-DPMPTSP/2017 tentang Delegasi Pelayanan dan Penandatanganan Rekomendasi Pembangunan Komersial Area Proyek Meikarta, itu akan dilihat di persidangan.
• Pengacara Sebut Billy Sindoro Tak Terkait Proyek Meikarta, Sudah Pensiun Sejak 2015
• KPK Segera Periksa Aher terkait Kasus Suap Proyek Meikarta
"Semua yang ada dalam dakwaan akan kami buktikan di persidangan sesuai dengan alat bukti yang kami miliki sebagaimana dimaksud di Pasal 184 KUHAP," ujar Yadyn.
Seperti diketahui, dalam proyek Meikarta, KPK mengungkap dugaan suap senilai Rp 16,18 miliar kepada Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin dan sejumlah kepala bidang dan kepala dinas di Pemkab Bekasi.
Di antaranya Dinas PUPR, Dinas Pemadam Kebakaran, hingga Dinas Lingkungan Hidup.
Suap tersebut terkait perizinan IPPT, RDTR, proteksi dari kebakaran hingga IMB.

Mantan Gubernur Jabar Ahmad Heryawan Tak Keberatan Jadi Saksi
Mantan Gubernur Jabar Ahmad Heryawan mengatakan dirinya sama sekali tidak keberatan jika diminta KPK untuk menjadi saksi atas kasus Meikarta.
Namun sampai Kamis, (20/12/2018) malam, dirinya belum menerima surat panggilan dari KPK.
"Prinsipnya pasti harus siap karena harus menjelaskan posisi saya, keputusan gubernur seperti apa. Yang jelas saya berikan keterangan terkait dengan apa yang saya ketahui tentang Meikarta dan tugas jabatan saya saat jadi gubernur," kata pria yang akrab disapa Aher ini saat dihubungi, Kamis (20/12/2018) malam.
Sebagai warga negara yang baik, kata Aher, dirinya akan kooperatif dengan lembaga penegak hukum.
Aher mengatakan belum mengetahui apa pun informasi yang akan digali penyidik dari dirinya.
Jika berkaitan dengan Surat Keputusan nomor: 648/Kep.1069- DPMPTSP/2017 tentang Delegasi Pelayanan dan Penandatanganan Rekomendasi Pembangunan Komersial Area Proyek Meikarta di Kabupaten Bekasi yang ditandatangani Aher, katanya, dirinya akan menjelaskan secara rinci.
Aher mengatakan bahwa kewenangan menentukan rekomendasi itu memang ada di tangan Gubernur.
Namun, dalam undang-undang, urusan tersebut harus didelegasikan kepada Kepala Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu.
• James Riady dan Billy Sindoro Pernah Temui Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin Terkait Meikarta
"Yang jelas, pergub yang disebut dalam berita, isinya pendelegasian kewenangan ke dinas. Itu perintah Undang-undang. Jadi di zaman sekarang, gubernur dan walikota, tidak lagi tandatangan rekomendasi. Itu sudah didelegasikan kepada kepala dinas perizinan satu pintu. Di mana-mana gitu," katanya.
Aher mengatakan, dirinya tidak mau lebih jauh berkomentar mengenai kasus tersebut karena surat undangannya pun belum diterimanya.

Alasan Tak Penuhi Panggilan KPK
Mantan Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan, mengatakan dirinya tidak hadir memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena tidak mendapat surat pemanggilan dari lembaga antirasuah tersebut.
Pria yang akrab disapa Aher ini awalnya dijadwalkan hadir dalam pemeriksaan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kamis (20/12). Ahmad Heryawan dipanggil untuk menjadi saksi dalam perkara dugaan suap dalam pengurusan perizinan proyek Meikarta untuk tersangka Bupati Bekasi, Neneng Hasanah Yasin.
"Ya tentu mohon maaf, saya tidak bisa disebut mangkir karena hakikatnya saya tidak menerima surat panggilan," kata Aher saat dihubungi, Kamis (20/12/2018) malam.
Aher mengatakan dirinya memang menerima amplop surat dari KPK, Selasa (18/12) malam.
Surat itu awalnya diterima Gedung Pakuan, bekas rumah dinasnya sebagai gubernur.
Pada amplop tersebut tertulis bahwa surat itu ditujukan kepada Mantan Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan. Namun setelah dibuka, isi surat tersebut bukanlah untuk dirinya.
• Ini Alasan Aher Tak Penuhi Panggilan KPK Jadi Saksi di Kasus Perizinan Meikarta
• Deddy Mizwar Minta Izin Meikarta Dihentikan, Ada Rapat dan Uang 90 Ribu SGD untuk Pejabat Pemprov
"Jadi gini ceritanya, hari Selasa malam, saya menerima surat dari KPK. Kemudian setelah saya buka, ternyata antara tujuan surat yang ditujukan kepada saya dengan isi surat tidak berkesesuaian. Surat tersebut memanggil seseorang, orang Bandung, dalam kasus yang lain," katanya.
Aher mengatakan isi surat tersebut adalah pemanggilan seseorang yang beralamat di Bandung dan bukan berkaitan dengan kasus Meikarta.
Setelah berkonsultasi, Aher memutuskan untuk mengembalikan surat tersebut kepada KPK, Rabu (19/12) siang.
"Jadi sama sekali isi suratnya tidak ada kaitan dengan saya, sebagai Ahmad Heryawan. Setelah saya konsultasi ke kiri dan kanan, kemudian dikembalikan saja segera. Bisa salah alamat," ujarnya.
Aher pun enggan mengungkap identitas yang dipanggil KPK dalam surat tersebut dengan alasan kepatutan dan privasi.
"Isinya untuk orang lain yang domisili di Bandung. Kasusnya bukan kasus Meikarta. Tapi saya tidak bisa ungkap siapa siapanya. Itu menyangkut privasi orang kan," katanya.