Tradisi Tujuh Bulanan, Semakin Langka dan Jarang Ditemukan di Indramayu
Tradisi tersebut biasa dilaksanakan di sejumlah daerah di Kabupaten Indramayu. Tradisi tersebut juga jarang ditemukan di wilayah lainnya
Penulis: Siti Masithoh | Editor: Seli Andina Miranti
Laporan Wartawan Tribun Jabar, Siti Masithoh
TRIBUNJABAR.ID, INDRAMAYU - Sejak pagi puluhan wanita paruh baya duduk saling berhadapan. Mereka sedang mengupas dan mengiris berbagai jenis buah-buahan semisal kelapa muda, kelengkeng, delima, buah naga, sawo, melon, dan jeruk bali.
Mereka mengupas dan mengiris buah tersebut untuk tradisi Babarit atau juga biasa disebut tradisi Tujuh Bulanan.
Tradisi tersebut biasa dilaksanakan di sejumlah daerah di Kabupaten Indramayu. Tradisi tersebut juga jarang ditemukan di wilayah lainnya di Ciayumajakuning.
Ngeri, Begini Hasil Visum terhadap Haringga Sirla, Tertulis dalam Dakwaan Jaksa https://t.co/L7x8lZqDNT via @tribunjabar
— Tribun Jabar (@tribunjabar) October 16, 2018
Tradisi itu dilaksanakan bagi anak pertama pasangan suami istri saat kandungan sang istri berusia tujuh bulan.
Seperti yang dilakukan pasutri Sudedi (27) dan Yusnia (25) di Desa Kedokan Bunder, Kecamatan Kedokan Bunder, Kabupaten Indramayu.
Selain itu, tradisi tersebut juga biasa dilaksanakan bagi suami atau laki-laki anak pertama dalam keluarganya dan pada pernikahan pertamanya.
"Jadi, saya kan anak laki-laki pertama dalam keluarga. Ini juga pernikahan pertama, jadi dilaksanakan tradisi seperti ini," ujar Sudedi (27), saat ditemui di rumahnya di Desa Kedokan Bunder, Kecamatan Kedokan Bunder, Kabupaten Indramayu, Rabu (17/10/2018).
• Semua Pihak Berharap Proses Penertiban KJA Kondusif, Ini Saran dari Dandim 0619 Purwakarta
Acara babarit itu juga dilaksanakan pada tanggal kelipatan tujuh, yaitu tanggal 7, tanggal 17, dan tanggal 27.
Setelah berbagai jenis buah-buahan itu diiris, diaduk rata dan dibuat menjadi rujak. Konon, rujak tersebut dinamakan rujak memitu yang tidak boleh ketinggalan dalam tradisi itu.
Setelah rujak selesai dibuat, suami harus pura-pura membeli rujak tersebut kepada istrinya. Rujak dibeli dengan uang seadanya pada kantong suami.
Sudedi sendiri mengeluarkan uang Rp 100 ribu untuk membeli rujak tersebut.
"Uang mah bebas seadanya di kantong saja," kata Sudedi.
Kemudian puluhan orang datang ke rumah Sudedi untuk melakukan pengajian dan doa bersama.
Setelah selesai doa bersama, Yusnia duduk ditempat yang sudah disediakan. Tempat itu dihias aneka bunga.
• KPU Jabar Kunjungi Posko GMHP di Kabupaten Cirebon, Ini Tujuannya
Setelah itu, sesepuh keluarga besar beserta tamu yang telah menghadiri pengajian akan memandikan Yusnia.
Ia disiram dengan air yang dicampur dengan berbagai jenis bunga dan uang koin.
Setelah satu per satu dimandikan, suami lari membawa uang koin dalam kendi tersebut ke perempatan jalan terdekat untuk memecahkan kendi berisi koin tersebut.
Pada perempatan jalan, sudah ada puluhan orang mulai dari tukang becal dan warga untuk berebut uang yang ada dalam kendi.
Mereka tampak berebut dan semangat berebut uang koin tersebut.
Setelah itu, rangkaian acara selesai dilaksanakan dan tinggal menunggu persalinan.
"Perasaan saya bahagia. Ini juga hal pertama dalam hidup saya. Tadi sempat kaku dan grogi. Saya senang dapat melaksanakan tradisi yang mungkin semakin langka ini," katanya.
Sementara itu, Yusnia merasa lega dapat melaksanakan rangkaian acara tersebut.
"Sempet deg-degan pas mau disiram pertama. Setelah selesai lega banget rasanya," kata Yusnia sambil tersenyum.
Mereka berharap, tradisi tersebut dapat terus dilestarikan oleh masyarakat lainnya.
Mereka juga berharap agar persalinannya dapat berjalan lancar dan selamat.
• PJT II Bertekad Siap Menyelesaikan Program Pembersihan Waduk Jatiluhur
