Teras

Melengkung Bekas Nyalahan

TERPILIHNYA Jokowi sebagai presiden RI 2014-2019 menggantikan Soesilo Bambang Yudhoyono bagaimanapun menumbuhkan harapan bagi rakyat Indonesia.

Penulis: cep | Editor: Dicky Fadiar Djuhud
DOKUMENTASI TRIBUN JABAR
Cecep Burdansyah 

TERPILIHNYA Jokowi sebagai presiden RI 2014-2019 menggantikan Soesilo Bambang Yudhoyono bagaimanapun menumbuhkan harapan bagi rakyat Indonesia.

Saya kira, walaupun sebagian rakyat Indonesia banyak juga yang memilih Prabowo, ketika Jokowi sudah dilantik, maka ia adalah pemimpin seluruh rakyat Indonesia, tak terkecuali yang tidak memilihnya.

Jadi, tak mengherankan kalau Jokowi adalah harapan seluruh rakyat Indonesia. Masa depan Indonesia di antaranya ditentukan oleh nakhodanya, akan dibawa ke mana negeri ini dalam mengarungi zamannya.

Optimisme itu mencuat tidak hanya datang dari bangsanya sendiri, tapi juga dari bangsa lain. Dalam pertemuan APEC di Tiongkok, peryemuan ASEAN di Myanmar, dan G-20 di Australia, optimisme itu tergambar dengan jelas.

Bahkan Jokowi tampaknya dijadikan sandaran dalam persaingan adu pengaruh antara dua kekuatan, yaitu Amerika Serikat dan Tiongkok. Gagasannya mengenai poros maritim juga mendapat apresiasi dari pemimpin negara lain.

Memang beban yang dipikul Jokowi untuk membawa bangsa ini ke arah yang lebih maju tidak mudah. Banyak tantangan. Selain soal teknis, yang tak kalah berat juga adalah soal politis.

Untuk soal teknis, seperti soal meningkatkan kesejahteraan, kecerdasan, dan kesehatan, mungkin asal mau menggandeng para profesional yang memiliki ketangguhan integritas, tak terlalu sulit. Namun ketika sudah berhadapan dengan soal politis, Jokowi sepertinya harus menghadapi tantangan terjal.

Dalam soal teknis mengurangi defisit misalnya, dengan menaikan harga bahan bakar minyak, walaupun dihadapkan pada maraknya demo di berbagai daerah dan keluhan rakyat miskin, Jokowi masih bisa menjelaskan dan meyakinkan kepada semua pihak bahwa kenaikan harga BBM itu tujuannya untuk mengalihkan pemborosan uang negara ke sektor yang lebih produktif seperti membangun infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.

Namun untuk soal politis seperti pengangkatan para pembantunya, Jokowi tampak sekali tidak bisa independen. Ia yang dipilih rakyat dan memiliki hak prerogratif, pada kenyataannya dalam memilih para pembantunya, hak pregoragratif itu dikompromikan dengan pemimpin partai politik pengusungnya dan juga dengan wakilnya.

Penunjukan Menko Ekonomi, Menteri BUMN, Menko Kebudayaan dan SDM, dan Menkum HAM jelas menggambarkan sebagai orangnya Jusuf Kalla dan Megawati.

Yang mengejutkan adalah dipilihnya para pembantunya di bidang hukum, yaitu Menkum HAM dan Jaksa Agung. Jelas Menkum HAM adalah orang partai, yaitu PDI-P, kemudian disusul lagi pengangkatan Prasetyo sebagai Jaksa Agung yang jelas-jelas sebagai anggota DPR dari Partai Nasdem.

Maka orang partai yang mewakili Surya Paloh ini menjadi lengkap, selain di kabinet juga mendapat jatah kursi jaksa agung.

Pemilihan Prasetyo ini tentu ada alasannnya. Tapi bagi publik, pemilihan aparat penegak hukum yang berasal dari partai tetap saja menunjukkan kekeliruan fatal. Lihat saja pengangkatan Yasonna H Laoly sebagai Menkum HAM langsung menuai kontroversi saat menangani kemelut PPP.

Mungkin saja Laoly tak bermaksud menyelipkan kepentingan dalam keputusannya mengeluarkan surat untuk PPP kubu Romahurmuzy saat paripurna kelengkapan DPR.

Namun karena DPR tengah dilanda perpecahan dan begitu pula PPP terpecah dua antara ke kubu Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih, maka orang langsung menuduh Menkum HAM tidak netral, akhirnya merembet ke wibawa pemerintahan. Ini pula kelak yang mungkin terjadi dengan posisi Jaksa Agung dalam perjalanannya.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jabar
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved