IAW: Kebijakan Kuota Internet Hangus Perlu Dikaji Ulang oleh Pemerintah dan Industri
IAW menilai sudah saatnya pemerintah mengambil langkah tegas untuk mengakhiri mekanisme yang dinilainya merugikan masyarakat.
Penulis: Nappisah | Editor: Muhamad Syarif Abdussalam
Laporan Wartawan Tribun Jabar, Nappisah
TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Indonesian Audit Watch (IAW) kembali menyoroti kebijakan kuota internet yang dapat hangus ketika masa aktif berakhir, menyebut praktik tersebut perlu dikaji ulang oleh pemerintah dan pelaku industri telekomunikasi.
Sekertaris IAW Iskandar Sitorus, menyebut publik seharusnya menerima volume data sebagai barang digital yang menjadi hak pembeli.
Ia menilai logika bahwa kuota dapat hangus ketika masa aktif berakhir tidak selaras dengan konsep transaksi atas volume data yang sudah dibayar.
Dikatakannya, praktik tersebut berlangsung tanpa koreksi berarti dari negara selama lebih dari satu dekade.
Karena itu, menurutnya, sudah saatnya pemerintah mengambil langkah tegas untuk mengakhiri mekanisme yang dinilainya merugikan masyarakat.
Menanggapi pernyataan Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) mengenai keterkaitan kuota dengan spektrum frekuensi, Iskandar menyebut penjelasan tersebut tidak kuat secara hukum dan tidak tepat dari sisi teknis maupun ekonomi.
Ia memberi contoh layanan berbasis frekuensi lain seperti token listrik, e-money, e-toll, atau saldo e-wallet yang tidak mengalami hangus.
"Jadi, jika semua layanan berbasis frekuensi lain saja tidak hangus, lalu mengapa kuota harus hangus? Ini bukan soal teknis. Ini soal model bisnis," kata Iskandar, Senin (17/11/2025).
Ia juga berpendapat bahwa kuota merupakan barang digital berupa volume data yang telah menjadi hak pembeli setelah dibayar, sebagaimana ketentuan dalam KUHPerdata.
Di sisi lain, ia menilai regulasi yang sering dijadikan dasar oleh industri, seperti Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2021, tidak pernah menyebut adanya kewenangan untuk menghanguskan kuota.
Iskandar menjelaskan bahwa kritik IAW terkait kuota hangus telah berlangsung lama dan tersistematis.
"Pada 2022, diskusi terkait transparansi telekomunikasi digelar bersama komunitas jurnalis, dilanjutkan dengan pelaporan resmi ke Bareskrim pada 21 September 2022 mengenai dugaan Fraud by Omission, pelanggaran PSAK 23, dan kemungkinan praktik oligopoli," jelasnya
Pada 2025, lanjut dia, temuan IAW mengenai kerugian kuota hangus yang mencapai Rp63 triliun bahkan dibahas secara resmi oleh Anggota DPR.
Adapun langkah lanjutan, pada Juli 2025, pihaknya juga mengirim tiga surat resmi kepada Bursa Efek Indonesia (BEI), yang mendesak pengawas bursa untuk menindak ketidaktransparan perusahaan telekomunikasi dalam mengungkap nilai kuota hangus yang nilainya mencapai triliunan rupiah per tahun.
Namun hingga kini, IAW menyebut belum ada tanggapan memadai.
"Sayangnya sampai sekarang BEI belum memberi respon yang seharusnya, apalagi buah kinerja mereka," ujar Iskandar.
Ia memperkirakan potensi kerugian publik akibat kuota hangus mencapai Rp613 triliun selama 15 tahun, berdasarkan perhitungan konservatif dengan asumsi 200 juta pelanggan dan belanja kuota rata-rata Rp25.000 per bulan.
Menurutnya, kerugian ini berdampak pada konsumen, negara, dan tata kelola industri karena adanya pendapatan yang tidak dicatat sebagai liabilitas.
Iskandar juga menjelaskan bahwa fraud by omission terjadi ketika informasi material wajib diungkap tetapi sengaja disembunyikan sehingga memberikan keuntungan finansial bagi pelaku dan merugikan pihak lain.
"Faktanya, provider tidak pernah mengungkap nilai kuota hangus dalam laporan keuangan (padahal material). PSAK 23 dan IFRS 15 mewajibkan pengungkapan 'pendapatan diterima di muka yang belum diberikan manfaatnya'. Kuota hangus adalah manfaat yang tidak diberikan," ucapnya.
Ia menyatakan bahwa pelanggaran ini berpotensi terkait dengan UU Perlindungan Konsumen, KUHPerdata, hingga Pasal 3 UU Tipikor.
Karena itu, para direksi operator, komisaris, komite audit, auditor eksternal, regulator, hingga pemerintah pada periode kuota hangus diberlakukan, harus dimintai pertanggungjawaban.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, IAW mengusulkan audit investigatif BPK terhadap Kominfo, BRTI, dan seluruh operator sejak 2010 hingga 2024; penerbitan Perppu Perlindungan Konsumen Digital; penerapan rollover wajib nasional; class action publik; pembentukan Satgas Tipikor Digital oleh KPK–Kejaksaan Agung; serta revisi total Permenkominfo 5/2021. (*)
| Efektivitas Penggunaan Perangkat Intelijen Bernilai Triliunan Rupiah Dipertanyakan |
|
|---|
| IAW Desak Penindakan Bank di Balik Rekening Judi Online: Tak Cukup Menyasar Pemain dan Operator |
|
|---|
| Empat Bulan Berjalan, Kinerja Danantara Mulai Disorot |
|
|---|
| Rangkap Jabatan Dinilai Ganggu Integritas Tata Kelola Pemerintahan |
|
|---|
| Audit Aset Negara Dinilai Perlu untuk Antisipasi “Serakahnomics" |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/jabar/foto/bank/originals/kuota-internet-cepat-habis-di-ponsel_20151210_181640.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.