Mengenal Gunung Cakrabuana yang Punya Peran Penting Sejarah Sunda dan Jalur Pendakiannya

Nama gunung Cakrabuana berasal dari kata “Cakra” yang artinya menjaga dan “Buana” yang artinya tanah.

Penulis: Kiki Andriana | Editor: Ravianto
capture youtube
GUNUNG CAKRABUANA - Puncak Gunung Cakrabuana. Gunung Cakrabuana memiliki peran penting dalam peradaban dan sejarah Sunda, termasuk sebagai batas dua kerajaan dan jalur utama pasukan TNI Siliwangi pada masa perjuangan kemerdekaan. 

TRIBUNJABAR.ID, SUMEDANG - Salah satu gunung yang menyimpan kekayaan alam dan sejarah di Jawa Barat adalah Gunung Cakrabuana.

Gunung ini tidak hanya menjadi tapal batas alami empat kabupaten—Majalengka, Tasikmalaya, Garut, dan Sumedang—tetapi juga menyimpan populasi pohon enau yang melimpah, menjadikannya sumber mata pencarian utama bagi masyarakat setempat.

Gunung Cakrabuana terletak di Provinsi Jawa Barat, Indonesia, tepatnya di perbatasan tiga kabupaten: Kabupaten Garut, Kabupaten Tasikmalaya, dan Kabupaten Majalengka.

Gunung ini juga merupakan batas alami antara Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimanuk dan DAS Citanduy

Selain itu, Gunung Cakrabuana juga memiliki peran penting dalam peradaban dan sejarah Sunda, termasuk sebagai batas dua kerajaan dan jalur utama pasukan TNI Siliwangi pada masa perjuangan kemerdekaan.

Gunung Cakrabuana memiliki ketinggian 1721 mdpl.

Nama gunung Cakrabuana berasal dari kata “Cakra” yang artinya menjaga dan “Buana” yang artinya tanah.

Di Gunung ini jutaan batang pohon enau masih terjaga populasinya. Pohon yang dapat menjaga lingkungan dari kerusakan itu, telah menjaga masyarakat juga dari kelaparan.

Masyarakat di gunung ini, terkenal penghasil gula merah enau yang manis, asli, dan jika disimpan dalam jangka waktu lama, gula enau semakin renyah teksturnya. 

Pohon enau atau kawung sangat erat kaitannya dengan masyarakat Sunda.

Enau banyak dimanfaatkan mulai dari daun, lidi, ijuk, kolang-kaling, nira, hingga batangnya.

Di masyarakat Sunda, bagian serupa gagang ijuk yang disebut harupat bahkan masuk ke dalam upacara pernikahan. 

Harupat dipatahkan oleh kedua pengantin sebagai simbol keduanya tidak lekas tersulut amarah dalam mengarungi bahtera rumah tangga.

Sifat mudah tersulut amarah di dalam bahasa Sunda dinamakan getas harupateun.

Enau selain lekat dengan simbol-simbol masyarakat Sunda, juga telah menjadi mata pencaharian masyarakatnya.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jabar
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved