Sah! DPR Ketok Palu KUHAP Baru, Komisi III Klaim Penuhi 'Meaningful Participation'

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) secara resmi mengesahkan KUHAP menjadi Undang-undang.

Editor: Ravianto
Chaerul Umam/Tribunnews
PENGESAHAN RKUHAP - Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjadi Undang-Undang. Pengesahan tersebut dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-8 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2025-2026, di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (18/11/2025). (Tribunnews.com/ Chaerul Umam) 

TRIBUNJABAR.ID, JAKARTA – Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) secara resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjadi Undang-Undang (UU).

Pengesahan ini dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-8 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2025-2026, yang dipimpin langsung oleh Ketua DPR RI Puan Maharani di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Selasa (18/11/2025).

Rapat Paripurna yang mengesahkan RUU KUHAP ini dihadiri oleh jajaran pimpinan DPR RI.

Puan Maharani didampingi oleh seluruh Wakil Ketua DPR RI, yakni Sufmi Dasco Ahmad, Adies Kadir, Cucun Ahmad Syamsurijal, dan Saan Mustopa.

Proses Pengesahan di Rapat Paripurna

Sebelum palu diketuk, Ketua DPR RI Puan Maharani meminta persetujuan dari seluruh peserta rapat.

"Tiba lah kita meminta persetujuan fraksi-fraksi terhadap RUU KUHAP, apakah dapat disetujui untuk menjadi Undang-Undang?" tanya Puan. "Setuju," jawab peserta Rapat Paripurna serentak, menandakan RUU KUHAP resmi disahkan menjadi UU.

Klaim Partisipasi Bermakna

Sebelum pengesahan, Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman menyampaikan laporan pembahasan RKUHAP.

Ia secara khusus menekankan bahwa Komisi III telah berupaya maksimal untuk memenuhi prinsip meaningful participation atau partisipasi yang bermakna dalam proses penyusunan UU ini.

Langkah-langkah yang dilakukan Komisi III meliputi:

  • Publikasi Naskah: Naskah RUU KUHAP telah diunggah ke laman resmi DPR sejak Februari 2025 dan dilakukan pembahasan secara terbuka (Panja).
  • Dialog Terbuka: Komisi III telah melaksanakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan melibatkan 130 pihak dari berbagai elemen, termasuk masyarakat, akademisi, advokat, dan penegak hukum.
  • Kunjungan Kerja: Kunjungan kerja intensif telah dilaksanakan ke 13 provinsi, meliputi Jawa Barat, DI Yogyakarta, Kepulauan Riau, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sulawesi Utara, Bangka Belitung, Jawa Timur, Gorontalo, Sumatera Barat, Banten, Sulawesi Tenggara, Aceh, dan Nusa Tenggara Barat.
  • Masukan Tertulis: Komisi III juga menerima masukan tertulis dari masyarakat selama empat bulan, terhitung sejak 8 Juli 2025.

Dengan disahkannya RUU ini, Indonesia resmi memiliki pembaruan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

Berikut 14 substansi RUU KUHAP

Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman  menjelaskan proses pembahasan RUU KUHAP telah berlangsung sejak DPR menetapkannya sebagai usul inisiatif pada 18 Februari 2025.

Menurutnya, terdapat kurang lebih 14 substansi utama dalam RUU KUHAP yang akan dibawa ke rapat paripurna DPR RI seperti dikutip dari situs dpr.go.id yakni:

1. Penyesuaian hukum acara pidana dengan perkembangan hukum nasional dan internasional.

2. Penyesuaian pengaturan hukum acara pidana dengan nilai-nilai KUHP baru yang menekankan orientasi restoratif, rehabilitatif, dan restitutif guna mewujudkan pemulihan keadilan substansi dan hubungan sosial antara pelaku, korban, dan masyarakat.

3. Penegasan prinsip diferensiasi fungsional dalam sistem peradilan pidana, yaitu pembagian peran yang proporsional antara penyidik, penuntut umum, hakim, advokat, dan pemimpin kemasyarakatan.

4. Perbaikan pengaturan mengenai kewenangan penyelidik, penyidik, dan penuntut umum serta penguatan koordinasi antarlembaga untuk meningkatkan efektivitas dan akuntabilitas sistem peradilan pidana.

5. Penguatan hak-hak tersangka, terdakwa, korban, dan saksi, termasuk hak atas bantuan hukum, peradilan yang adil, dan perlindungan terhadap ancaman atau kekerasan.

6. Penguatan peran advokat sebagai bagian integral sistem peradilan pidana, termasuk kewajiban pendampingan dan pemberian bantuan hukum cuma-cuma oleh negara.

7. Pengaturan mekanisme keadilan restoratif (restorative justice) sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan.

8. Perlindungan khusus terhadap kelompok rentan, termasuk penyandang disabilitas, perempuan, anak, dan lanjut usia, disertai kewajiban aparat untuk mlakukan asesmen dan menyediakan sarana pemeriksaan yang ramah.

9. Penguatan perlindungan penyandang disabilitas dalam setiap tahap pemeriksaan.

10. Perbaikan pengaturan tentang upaya paksa dengan memperkuat perlindungan HAM dan asas due process of law, termasuk pembatasan waktu dan kontrol yudisial oleh pengadilan.

11. Pengenalan mekanisme hukum baru, seperti pengakuan bersalah bagi terdakwa yang kooperatif dengan imbalan keringanan hukuman serta perjanjian penundaan penuntutan bagi pelaku korporasi.

12. Pengaturan prinsip pertanggungjawaban pidana korporasi.

13. Pengaturan hak kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi sebagai hak korban dan pihak yang dirugikan akibat kesalahan prosedur penegakan hukum.

14. Modernisasi hukum acara pidana untuk mewujudkan peradilan yang cepat, sederhana, transparan, dan akuntabel.(*)

chaerul umam/tribunnews

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved