Bukan Tiba-tiba, Psikolog Sebut Ledakan di SMA 72 Emotional Outburst: Hasil Luka Batin yang Menumpuk

Pelaku ledakan diduga seorang siswa yang sebelumnya mengalami perundungan atau bullying di sekolah.

Penulis: Putri Puspita Nilawati | Editor: Ravianto
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
LEDAKAN - Suasana tempat kejadian perkara (TKP) ledakan di SMA Negeri 72 Jakarta, Jumat (7/11/2025). Ledakan yang berasal dari sekitar Masjid SMA Negeri 72 Jakarta tersebut menyebabkan korban luka mencapai 54 orang dan Tim gabungan dari TNI, Polri dan Gegana masih melakukan penyelidikan dan penyisiran di area tersebut. 

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG – Insiden ledakan yang terjadi di SMA Negeri 72 Jakarta di Kelapa Gading, Jakarta Utara, pada Jumat 7 November 2025 siang, masih menjadi perhatian publik. 

Pelaku ledakan diduga seorang siswa yang sebelumnya mengalami perundungan atau bullying di sekolah.

Menanggapi hal ini, Psikolog, Miryam A. Sigarlaki, M.Psi., menilai tindakan ekstrem seperti ini bisa dikategorikan sebagai ledakan emosi atau dalam istilah psikologi disebut emotional outburst.

“Dalam psikologi, tindakan ekstrem ini bisa disebut ledakan emosi atau bahasa kerennya itu emotional outburst gitu."

"Ini biasanya terjadi ketika seseorang, terutama di umur remaja, terlalu lama menahan rasa sakit, marah, tidak berdaya."

"Jadi dia pendam gitu dalam hatinya tanpa punya tempat yang aman untuk menceritakan permasalahannya tersebut,” ujar Miryam saat dihubungi, Sabtu (8/11/2025).

Baca juga: Pakar Psikologi Forensik Soroti Dugaan Bullying di Tragedi Ledakan SMAN 72 Jakarta: Kita Terlambat

Dosen Fakultas Psikologi Unjani ini menjelaskan, bahwa remaja pada dasarnya belum memiliki kemampuan pengendalian emosi yang sempurna karena perkembangan otak mereka masih berlangsung.

“Bagian otak yang mengatur logika atau pengendalian diri ini sebetulnya masih berkembang hingga usia 20 tahunan."

"Sementara itu, ada bagian otak yang memicu emosi atau disebut amigdala nih bekerja sangat kuat dan cepat,” jelasnya.

Menurut Miryam yang merupakan mahasiswi S3 Fakultas Psikologi Unpad, ketika seorang remaja terus-menerus merasa dipermalukan, diabaikan, atau disakiti, otak emosionalnya dapat “meledak” sebelum sempat berpikir jernih.

“Jadi dengan kata lain, tindakan ekstrem ini bukan muncul tiba-tiba sebetulnya, melainkan hasil dari rasa sakit batin yang menumpuk lama atau tertahan tanpa jalan keluar."

"Nah, jika emosi itu tidak pernah diungkapkan atau ditenangkan maka ya akhirnya bisa berubah menjadi tindakan yang sangat kuat, impulsif, atau berbahaya begitu,” tuturnya.

Lebih lanjut, Miryam menjelaskan bahwa bullying yang dialami remaja secara terus-menerus dapat melukai kondisi psikologis secara mendalam.

“Ketika remaja mengalami bullying secara terus-terusan, mereka seringkali merasa tidak berharga, takut, malu, perasaan enggak berdaya."

"Dalam hati muncullah campuran emosi yang sangat berat, marah karena disakiti, sedih karena tidak ada yang membela, dan takut karena merasa tidak berdaya,” ujarnya.

Sumber: Tribun Jabar
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved