IAW Desak Penindakan Bank di Balik Rekening Judi Online: Tak Cukup Menyasar Pemain dan Operator

Selama sepuluh tahun terakhir, jutaan rekening perbankan maupun lembaga keuangan non-bank tercatat digunakan bandar judi daring. 

Penulis: Nappisah | Editor: Muhamad Syarif Abdussalam
Tribun Jabar/Gani Kurniawan
ILUSTRASI JUDI ONLINE - IAW mendorong aparat penegak hukum, khususnya Kepolisian Republik Indonesia, agar memperluas penindakan kasus judi daring.  

Laporan Wartawan Tribun Jabar, Nappisah

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus, mendorong aparat penegak hukum, khususnya Kepolisian Republik Indonesia, agar memperluas penindakan kasus judi daring. 

Menurutnya, fokus penindakan tidak cukup hanya pada pemain dan operator, melainkan juga harus menyasar bank serta lembaga keuangan non-bank yang membuka rekening untuk transaksi ilegal tersebut.

Selama sepuluh tahun terakhir, jutaan rekening perbankan maupun lembaga keuangan non-bank tercatat digunakan bandar judi daring. 

Dia menuturkan, data Bareskrim Polri menunjukkan, dalam lima bulan pertama 2025 penyitaan mencapai Rp194,7 miliar dari 865 rekening. Pada Agustus 2025, kembali dilakukan penyitaan Rp154,3 miliar dari 811 rekening.

Polisi daerah juga menemukan berbagai modus baru. Polres Metro Jakarta Barat, misalnya, membongkar sindikat jual-beli rekening dengan menyita 713 kartu ATM dan 370 buku tabungan.

Sementara itu, Polresta Sidoarjo mengungkap praktik penjualan data pribadi yang dikirim ke luar negeri, seperti Kamboja dan Taiwan.

Meski ada langkah tersebut, Iskandar menilai upaya itu masih jauh dari memadai. 

“Selama ini polisi fokus ke pemain, admin, atau pengepul rekening. Padahal, rekening tidak mungkin lahir tanpa pintu bank atau lembaga keuangan non-bank,” ujarnya, Jumat (29/8/2025). 

Ia mengingatkan bahwa Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) Nomor 8 Tahun 2010 jelas menyebut pihak yang membantu menyamarkan hasil kejahatan bisa dijerat sanksi pidana. 

Kelalaian bank dalam menerima dokumen palsu atau membiarkan transaksi mencurigakan, lanjutnya, seharusnya menjadi dasar penindakan hukum.

Iskandar juga menyoroti kewajiban bank dalam Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 untuk menerapkan prinsip kehati-hatian. 

“Jika prinsip ini dilanggar, sanksi tidak cukup hanya administratif, apalagi rekening dipakai untuk judi online,” katanya.

Selain itu, Peraturan OJK APU-PPT Nomor 8 Tahun 2023 mewajibkan verifikasi biometrik, pelaporan transaksi mencurigakan, serta pengawasan ekstra pada nasabah berisiko tinggi. 

Menurut Iskandar, kegagalan memenuhi kewajiban itu seharusnya berimplikasi pada sanksi pidana dan perdata, bukan sekadar denda.

Ia mengingatkan adanya temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sejak 2015 terkait kelemahan sistemik di sektor keuangan. 

Dari rekening pemerintah daerah yang dormant dengan saldo besar, identitas palsu yang lolos verifikasi KYC, hingga transaksi mencurigakan yang tidak dilaporkan.

Namun, hingga kini belum ada bank yang dijerat hukum. Iskandar menilai hal ini dipengaruhi fragmentasi pengawasan, di mana OJK hanya memberi sanksi administratif, PPATK sebatas memberikan analisis, dan polisi lebih fokus pada pelaku lapangan. Kesulitan lain adalah pembuktian niat jahat bank yang kerap dianggap hanya sebagai pelanggaran administratif.

Selain itu, pandangan bahwa bank merupakan tulang punggung perekonomian nasional membuat aparat enggan bertindak. Tidak adanya yurisprudensi yang mengaitkan bank dengan judi daring pun memperlemah penegakan hukum.

"Penyitaan rekening saja tidak cukup. Penyidikan harus diperluas ke bank atau lembaga penerbit rekening. Pasal 3 dan 5 UU TPPU bisa digunakan untuk menjerat pihak yang lalai atau membiarkan rekening digunakan untuk aktivitas ilegal,” ujarnya.

Menurutnya, kolaborasi lintas lembaga seperti PPATK, OJK, dan Bareskrim sangat penting.

Ia bahkan mengusulkan pembentukan tim audit forensik khusus untuk mengusut bank maupun fintech yang kerap dipakai bandar judi daring. Bentuk sanksi pun harus berlapis, mulai dari administratif, pidana bagi oknum, hingga gugatan perdata untuk pemulihan kerugian negara.

Iskandar menambahkan, dukungan publik juga perlu digalang. Salah satu langkah yang ia sarankan adalah membuka ke publik nama bank atau fintech yang paling banyak digunakan untuk rekening judi.

“Jika hanya pemain dan admin yang ditangkap, sementara bank/fintech yang melahirkan rekening tetap aman, maka siklus akan terus berulang,” tegasnya.

Ia mengajak seluruh lembaga dalam ekosistem keuangan nasional Bank Indonesia, OJK, PPATK, Bursa Efek Indonesia, Kepolisian, Kejaksaan, hingga pengadilan untuk bersatu memerangi judi daring. (*)
 

Sumber: Tribun Jabar
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved