Bukan Cari Perhatian, Tapi Minta Tolong! Kenali 5 Perubahan Sikap Remaja Korban Perundungan

Ledakan yang terjadi di SMA Negeri 72 Jakarta Utara diduga dilakukan oleh siswa korban bullying.

Penulis: Putri Puspita Nilawati | Editor: Ravianto
fahdi fahlevi/tribunnews
LEDAKAN SMAN 72 - Ratusan siswa mendatangi SMAN 72 Jakarta, Kelapa Gading, Jakarta Utara, pada Sabtu (8/11/2025) sore. Psikolog Miryam A. Sigarlaki, M.Psi., menegaskan bahwa tanda-tanda anak atau remaja yang tidak lagi sanggup menahan tekanan akibat perundungan sebenarnya bisa dikenali sejak awal. 

Terkait proses pemulihan bagi remaja korban bullying, Chief Operating Operation (COO) Jatidiri App ini menekankan bahwa penyembuhan mental tidak bisa dilakukan secara instan.

“Pemulihan ini butuh proses, butuh waktu, dan yang terpenting adalah dukungan. Langkah pertama adalah membuat remaja merasa aman dan diterima apa adanya,” katanya.

Setelah itu, remaja bisa mulai menata emosi dengan bantuan pihak yang dipercaya. 

“Bisa dengan guru, psikolog, atau orang dewasa yang dipercaya. Proses penyembuhan bisa lewat terapi, bercerita, menulis jurnal, olahraga, atau kegiatan sosial yang membuat mereka merasa berdaya kembali,” ujar Miryam.

Ia menegaskan, luka emosional tidak bisa dihapus hanya dengan waktu. 

“Yang paling penting, jangan suruh mereka melupakan begitu saja. Luka emosional tidak hilang dengan waktu."

"Luka itu sembuh karena diterima dan dirawat. Dengan pendampingan yang tepat, mereka bisa belajar bahwa rasa sakit itu bisa diubah menjadi kekuatan,” katanya.

Lebih lanjut, Miryam menjelaskan pentingnya membangun komunikasi yang aman di rumah agar anak merasa didengar sebelum rasa sakit menumpuk.

“Kunci utamanya adalah mendengarkan dengan hati, bukan hanya dengan telinga. Active listening dengan empati, artinya kita mencoba merasakan dari sudut pandang si anak, bukan dari POV orang tua,” ujarnya.

Banyak anak sebenarnya ingin bercerita, tapi takut disalahkan atau diremehkan. 

“Maka keluarga perlu menciptakan suasana di mana anak boleh marah, boleh sedih, atau kecewa tanpa takut dihakimi. Biasanya kita bilang, ‘ah, gitu aja marah’, ‘gitu aja takut’. Padahal itu justru menutup ruang anak untuk bercerita,” kata Miryam.

Menurutnya, orang tua dapat menunjukkan empati melalui kata-kata sederhana. 

“Kita bisa bilang, ‘Mama paham kamu lagi sedih, kamu boleh cerita kapan aja, mama siap dengar’. Atau memberi apresiasi, ‘Terima kasih sudah berani cerita’. Itu kecil tapi penting,” ujarnya.

Ia juga menyarankan agar keluarga membiasakan momen obrolan ringan setiap hari, misalnya saat makan malam atau sebelum tidur. 

“Hubungan emosional itu tidak dibangun dari nasihat panjang, tapi dari rasa kehadiran dan penerimaan yang konsisten,” katanya.

Sumber: Tribun Jabar
Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved