Farhan dan Rektor ITB Sepakat, Sustainability Jadi Dasar Kebijakan Jangka Panjang di Bandung

Keberlanjutan harus menjadi struktur dasar dalam kebijakan kota, bukan sekadar agenda politik sesaat.

Penulis: Nappisah | Editor: Muhamad Syarif Abdussalam
tribunjabar.id / Nappisah
Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan dan Rektor ITB, Prof. Dr. Ir. Tatacipta Dirgantara, M.T. dalam acara Bandung Sustainability Summit 2025, forum kolaboratif yang digelar Suvarna Sustainability bersama Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung (ITB) serta Pemerintah Kota Bandung, Kamis (6/11/2025). 

Farhan menjelaskan, sampah di wilayah Ciwastra dan Gedebage didominasi sampah organik, sementara di Cigondewahmasalahnya lebih banyak berasal dari limbah tekstil dan plastik.

“Hanya sistem keberlanjutan yang memastikan bahwa penyelesaian yang kita lakukan itu bukan sekedar penyelesaian jangka pendek,” ujar Farhan.

Sementara itu, Rektor ITB, Prof. Dr. Ir. Tatacipta Dirgantara, M.T., mengatakan, Bandung Sustainability Summit sebagai kelanjutan dari semangat Bandung yang dulu dikenal sebagai kota Asia-Afrika.

Kini, kata dia, spirit itu dihidupkan kembali dalam konteks baru, yakni keberlanjutan.

“Bandung Sustainability Summit ini melanjutkan spirit Bandung. Dulu Bandung pernah jadi kota Asia Afrika. Nah, sekarang ini mau menghadirkan ide tentang keberlanjutan,” ucap Tatacipta.

Ia menekankan, keberlanjutan tidak bisa dibangun sendirian. Dibutuhkan kerja sama erat antara akademisi, pemerintah, industri, masyarakat sipil, dan media untuk mewujudkannya.

“Keberlanjutan itu tidak bisa hanya akademisi saja atau pemerintah saja. Harus kerja sama akademisi, pemerintah, industri, masyarakat sipil, termasuk juga media,” ujarnya.

Dia berharap, dari forum tersebut akan lahir rencana aksi konkret yang dapat menjawab tantangan lingkungan dan pembangunan yang dihadapi Bandung.

Dekan Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan ITB, Nita Yuanita, mengatakan, bahwa isu pembangunan berkelanjutan di Indonesia hari ini sudah masuk ke ranah kebijakan dan regulasi tetapi yang tertinggal justru implementasinya. 

Ia menuturkan, banyak rencana memang sudah berbasis prinsip sustainability, namun di lapangan prakteknya belum selalu tegak lurus.

“Perencanaannya banyak yang sudah mengarah. Tantangannya itu justru di penegakan dan implementasi,” katanya.

ESG dan sustainability report tidak lagi hanya pelengkap laporan tahunan. Menurutnya, itu sudah jadi variabel penentu apakah sebuah perusahaan pantas menerima modal.

Definisi pembangunan berkelanjutan, kata Nita, sederhana yakni membangun tanpa merampas kesempatan generasi berikutnya. 

Infrastruktur bukan lagi membangun demi bangunannya, tetapi harus memperhitungkan manfaat sosial, dampak lingkungan, dan nilai tambah ekonomi secara simultan.

“Sekarang pembangunan tidak bisa lagi hanya memikirkan struktur. Harus memikirkan dampaknya pada masyarakat dan lingkungan,” ujar Nita. (*) 

Sumber: Tribun Jabar
Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved