Spirit Santri Jadi Bahan Bakar Sumpah Pemuda, Prof Lilis: Dari Pesantren Tumbuh Api Perjuangan

Ia menilai bahwa energi santri adalah kekuatan yang tidak pernah padam, lahir dari keikhlasan, kesederhanaan.

dokumen pribadi
Guru Besar Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Prof. Dr. Hj. Lilis Sulastri, S.Ag., MM. 

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Guru Besar Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Prof. Dr. Hj. Lilis Sulastri, S.Ag., MM, menyampaikan pandangannya mengenai makna dan kekuatan spiritual yang dimiliki para santri dalam membangun bangsa.

Ia menilai bahwa energi santri adalah kekuatan yang tidak pernah padam, lahir dari keikhlasan, kesederhanaan, serta doa yang dipanjatkan di sepertiga malam. Menurutnya, para santri tidak hanya belajar membaca kitab, tetapi juga membaca zaman dan menghidupkan nilai-nilai kitab dalam kehidupan sosial, politik, dan kebangsaan.

Prof. Lilis menjelaskan bahwa pesantren bukan sekadar tempat pendidikan agama, melainkan pusat kebudayaan yang menyatukan iman, ilmu, dan semangat kebangsaan. Ia menegaskan bahwa dalam sejarah panjang Indonesia, santri berperan bukan hanya sebagai saksi, tetapi juga pelaku penting yang menulis bab kebangkitan nasional melalui nilai-nilai keikhlasan, keteguhan, dan cinta tanah air.

Ia mengutip pernyataan KH. Hasyim Asy’ari yang mengatakan, “Cinta tanah air adalah bagian dari iman.” Menurutnya, pesantren telah menjadi sumber lahirnya nasionalisme spiritual, sebuah kesadaran bahwa kebangsaan bukan sekadar urusan darah dan tanah, melainkan juga panggilan jiwa yang dilandasi iman.

Lebih lanjut, Prof. Lilis menjelaskan bahwa energi santri bukanlah energi politik, melainkan energi moral dan spiritual yang menuntun bangsa untuk berdiri di atas nilai-nilai luhur. Ia mengutip pandangan Al-Ghazali yang menulis, “Ilmu tanpa amal adalah kegilaan, dan amal tanpa ilmu adalah kesia-siaan.”

Ia mengatakan bahwa kalimat tersebut mencerminkan kehidupan pesantren yang selalu memadukan ilmu dan amal. Para santri, kata dia, diajarkan bahwa kekuatan sejati tidak terletak pada kekuasaan atau suara lantang, melainkan pada keteguhan prinsip dan penguasaan diri.

Ia juga menyinggung pemikiran Soekarno yang menyebut bahwa semangat Sumpah Pemuda bukan hanya pengakuan satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa, melainkan juga wujud manusia merdeka yang terbebas dari kebodohan, kemalasan, dan ketakutan.

Prof. Lilis juga mengutip pemikiran filsuf Friedrich Nietzsche yang mengatakan, “He who has a why to live can bear almost any how,” yang berarti siapa yang memiliki alasan untuk hidup, akan mampu menghadapi segala cara hidup.

Ia menilai bahwa santri memiliki alasan kuat untuk hidup dan berjuang, yaitu pengabdian kepada Allah dan negeri. Karena itulah, energi santri bersumber dari keikhlasan, ketaatan, dan cinta, bukan dari pamrih atau ambisi pribadi.

Dalam pandangannya, jauh sebelum Sumpah Pemuda dikumandangkan pada tahun 1928, pesantren sudah menanamkan benih persatuan melalui nilai-nilai iman dan cinta tanah air. Resolusi Jihad yang dicetuskan KH. Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945, kata dia, merupakan bukti nyata dari iman yang berubah menjadi pembelaan terhadap bangsa.

Prof. Lilis menekankan bahwa santri tidak memisahkan cinta kepada Tuhan dari cinta kepada tanah air. Bagi mereka, kebersamaan dan solidaritas merupakan bentuk ketakwaan sosial. Karena itu, Sumpah Pemuda dipandang bukan hanya peristiwa politik, tetapi juga peristiwa spiritual yang menandai kebangkitan jiwa bangsa.

Ia menilai bahwa di tengah derasnya arus digitalisasi, globalisasi, dan pergeseran nilai, Indonesia kini membutuhkan kembali energi santri yang menghubungkan langit dan bumi.

Menurutnya, santri modern bukan hanya mereka yang tinggal di pesantren, melainkan siapa pun yang membawa nilai keikhlasan, kedalaman ilmu, dan semangat kebangsaan ke dalam kerja dan karya.

Ia menegaskan bahwa santri masa kini harus mampu memahami tidak hanya kitab kuning, tetapi juga "kitab dunia" seperti teknologi, ekonomi, dan ekologi, dengan tetap berpijak pada nilai iman. Di tengah dunia yang kehilangan arah karena materialisme dan individualisme, santri, kata dia, tetap memiliki kompas nilai yang kuat.

Prof. Lilis juga mengutip pemikiran Albert Camus yang menyebut bahwa manusia yang menemukan makna dalam tindakannya adalah mereka yang mampu menghadapi absurditas hidup.

Ia menilai bahwa santri setiap hari berjuang melawan kebodohan dengan belajar, melawan kemiskinan dengan kemandirian, dan melawan perpecahan dengan akhlak. Menurutnya, energi santri saat ini dibutuhkan untuk menjahit kembali robekan sosial bangsa. Mereka bisa menjadi penggerak dalam bidang ekopreneur, pelopor green pesantren, inovator sosial digital, hingga diplomat budaya, dengan membawa nilai-nilai jujur, amanah, ikhlas, berilmu, dan cinta tanah air.

Dalam refleksinya, Prof. Lilis menegaskan bahwa energi santri bukanlah warisan masa lalu, melainkan cahaya masa depan. Ia mengutip tulisan Buya Hamka yang berbunyi, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menjaga jiwa dan marwahnya, yang tidak lupa bahwa kemerdekaan adalah amanah, bukan anugerah.”

Menurutnya, menjaga jiwa bangsa berarti menjaga nilai yang diwariskan pesantren, yakni jujur, ikhlas, berilmu, dan cinta tanah air. Ia menilai bahwa santri hadir untuk menyambung doa dan cita, iman dan kerja, teks dan konteks. Santri, kata dia, bukan hanya penjaga hafalan masa lalu, melainkan juga penulis masa depan bangsa.

Prof. Lilis menyebut bahwa energi santri adalah energi yang memerdekakan, bukan menguasai, yang mengajak, bukan menghakimi, yang menuntun, bukan menundukkan. Dalam kesederhanaan santri, katanya, tersimpan kekuatan besar untuk membangun Indonesia yang adil, beradab, dan berketuhanan. Ia mengingatkan bahwa jika api Sumpah Pemuda adalah simbol persatuan, maka energi santri adalah bahan bakarnya yang abadi.

Menurutnya, “Bahwa mencintai Tuhan dan mencintai negeri ini bukan dua jalan yang berbeda, melainkan satu jalan panjang menuju ridha-Nya.” Ia juga mengutip pesan Rumi, “Jadilah cahaya, bukan api. Sebab cahaya menerangi, sementara api membakar.”

Ia menegaskan bahwa energi santri adalah cahaya yang menuntun bangsa dari dalam tanpa menghanguskan siapa pun.


Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved