TRIBUNJABAR.ID - Polemik mengenai status mitra dan tuntutan pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) kepada aplikator terus menjadi sorotan.
Seiring dengan berkembangnya ekonomi digital, muncul perdebatan mengenai apakah mitra pengemudi seharusnya diklasifikasikan sebagai pekerja tetap atau masih tetap dalam hubungan kemitraan sebagaimana yang berlaku saat ini.
Terhadap tuntutan THR ini, pemerintah pun mulai terlibat dengan menciptakan beberapa inisiatif hingga berencana mewajibkan pemberian THR bagi mitra platform digital yang tentunya juga menuai pro dan kontra.
Baca juga: Hati-Hati Regulasi THR Bagi Platform Digital, Jangan Sampai Aplikator Tutup, Mitra Menganggur
Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) mendesak pemerintah agar menetapkan regulasi yang mewajibkan perusahaan ride-hailing memberikan THR dalam bentuk tunai, bukan insentif.
Lalu bagaimana tanggapan pihak asosiasi moda pengantaran digital ini?
Sektor platform digital atau aplikator telah memberikan akses bagi jutaan individu untuk memperoleh penghasilan alternatif dengan fleksibilitas tinggi.,
Dengan sistem dan pola kerja seperti ini, aplikator menjadi karakteristik utama yang menjadi daya tarik industri ini.
Menurut Agung Yudha, Direktur Eksekutif Asosiasi Mobilitas dan Pengantaran Digital Indonesia (Modantara), berdasarkan data ITB (2023), model kerja fleksibel ini bahkan telah berkontribusi pada 2 persen dari PDB Indonesia pada tahun 2022.
Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa setiap kebijakan yang diterbitkan tidak justru menghambat pertumbuhan atau bahkan membatasi manfaat yang telah diberikan kepada para Mitra.
Sementara berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) BPS, Indonesia memiliki 84,2 juta pekerja informal, dengan 41,6 juta di antaranya sebagai pekerja gig. Dari jumlah tersebut, sekitar 1,8 juta atau 4,6 persen bekerja di layanan ride-hailing seperti ojek dan taksi online.
Sehinga hadirnya regulasi yang kurang tepat pasti dapat berdampak pada jutaan individu yang menggantungkan hidupnya pada industri ini.
Baca juga: Jelang Laga Kontra Australia, Timnas Indonesia Tambah 4 Pemain Naturalisasi Baru, Berikut Daftarnya
“Selama ini pelaku industri on-demand di Indonesia telah menjalankan berbagai inisiatif, antara lain bantuan modal usaha, beasiswa pendidikan bagi anak mitra, serta pemberian paket bahan pokok dan perawatan kendaraan dengan harga khusus, sebagai bagian dari upaya untuk menjaga pendapatan mitra,"
"Diberlakukannya kebijakan baru terkait Bantuan Hari Raya (BHR) ini berpotensi membuat pelaku industri harus melakukan berbagai penyesuaian bisnis yang dapat berdampak pada pengurangan program kesejahteraan jangka panjang yang selama ini telah diberikan untuk Mitra,” tutur Agung dalam keterangannya, Kami (27/2/2025).
Agung menyebutkan, hubungan kemitraan ini berarti mitra pengemudi memiliki keleluasaan dalam menentukan jam kerja, menerima atau menolak pesanan, serta bekerja untuk lebih dari satu platform.
Ini berbeda dengan hubungan kerja yang mensyaratkan adanya pekerjaan tetap, upah, dan perintah dari pemberi kerja, yang mempekerjakan pekerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Berikut adalah beberapa alasan mengapa pemberian THR kepada semua mitra pengemudi berisiko dan perlu dipertimbangkan lebih lanjut:
1. Status Kemitraan vs. Karyawan
Agung Yudha mengatakan bahwa secara hukum, mitra pengemudi dalam platform ride-hailing dikategorikan sebagai pekerja mandiri (independent contractors), bukan karyawan tetap.
Riset dari International Labour Organization (ILO), banyak negara masih memperdebatkan status pekerja dalam ekonomi gig, tetapi mayoritas tetap mempertahankan model kemitraan.
"Negara seperti Amerika Serikat dan Inggris hanya mewajibkan manfaat tambahan bagi pekerja gig dalam kasus tertentu, seperti bagi mereka yang memenuhi kriteria jam kerja minimum atau keterikatan eksklusif dengan satu platform," ujar Agung.
Agung menyebut jika THR diberikan kepada semua mitra, baik penuh waktu maupun paruh waktu, maka hal ini dapat menimbulkan potensi perubahan status hukum mereka menjadi karyawan.
Konsekuensinya, perusahaan ride-hailing mungkin akan mengubah sistem operasionalnya dengan membatasi jumlah mitra dengan menerapkan beberapa persyaratan tambahan seperti usia dan jam kerja minimal, yang jika ini diberlakukan maka akan berdampak pada jutaan mitra yang akhirnya terputus dengan akses pendapatan mereka selama ini.
Dalam kata lain, pemerintah akan mendapatkan pekerjaan rumah tambahan yaitu angka pengangguran di Indonesia bertambah drastis.
2. Beban Finansial dan Keberlanjutan Bisnis
Kemudian Agung Yudha menyebut jika perusahaan diwajibkan membayar THR setara 100 persen dari penghasilan bulanan mitra pengemudi, maka ini akan memberikan tekanan finansial yang besar.
Dalam model bisnis ride-hailing, pendapatan perusahaan berasal dari komisi yang relatif kecil dari setiap perjalanan. Berdasarkan laporan McKinsey (2023), margin keuntungan rata-rata perusahaan ride-hailing global hanya sekitar 3–5 persen.
Dari analisa dan pendapat berbagai pakar (hukum dan ekonomi), implikasi kebijakan THR terhadap industri dan masyarakat, antara lain;
● Pemutusan kemitraan secara massal akibat perusahaan tidak mampu menanggung biaya tambahan, yang berpotensi meningkatkan jumlah pengangguran karena jutaan mitra akan kehilangan akses pendapatan.
● Penghilangan manfaat yang selama ini telah diberikan, seperti insentif harian, bonus perjalanan, atau program perlindungan sosial yang sudah berjalan.
● Meningkatnya risiko platform gulung tikar, mayoritas platform masih mengalami kesulitan secara beban finansial dan operasional.
● Investor kehilangan kepercayaan dan menarik modalnya, yang dapat memperlambat inovasi dan ekspansi industri ride-hailing di Indonesia, mengakibatkan perusahaan gulung tikar dan meningkatkan angka pengangguran.
● Peningkatan biaya layanan yang mungkin dibebankan kepada pelanggan, yang dapat menurunkan daya saing platform dan mengurangi jumlah perjalanan.
● Pengurangan insentif, yang bisa berdampak pada penghasilan mitra pengemudi dalam jangka panjang.
● Penyaringan lebih ketat terhadap mitra pengemudi baru, yang bisa mengurangi kesempatan bagi banyak orang untuk bergabung dalam ekosistem ekonomi gig.
3. Perbandingan dengan Negara Lain
Tidak semua negara memberlakukan THR bagi pekerja di sektor ekonomi gig. Di Singapura dan Malaysia, misalnya, tidak ada kebijakan yang mewajibkan platform ride-hailing memberikan THR. Sebaliknya, pemerintah dan perusahaan bekerja sama dalam skema perlindungan sosial seperti dana pensiun sukarela atau asuransi kesehatan bagi mitra pengemudi.
Di Uni Eropa, ada wacana regulasi yang lebih ketat terkait hak pekerja gig, tetapi pendekatan yang diambil lebih mengarah pada perlindungan sosial, bukan pada kewajiban pemberian tunjangan tambahan seperti THR. Model seperti ini lebih berkelanjutan dibandingkan dengan skema yang membebani perusahaan dengan biaya besar.
4. Risiko Terhadap Fleksibilitas dan Keberlanjutan Kerja Mitra
Salah satu alasan utama seseorang memilih menjadi mitra pengemudi di platform ride-hailing adalah fleksibilitas. Jika platform diwajibkan membayar THR dan menanggung biaya tambahan lainnya, mereka mungkin akan menerapkan model kerja yang lebih ketat, seperti membatasi jumlah jam kerja atau memberlakukan sistem shift. Hal ini akan mengurangi fleksibilitas yang selama ini menjadi daya tarik utama bagi mitra pengemudi.
Selain itu, beban finansial yang meningkat bisa memaksa perusahaan untuk merasionalisasi jumlah mitra, yang berarti peluang kerja bagi banyak pengemudi bisa berkurang. Sebuah studi dari Harvard Business Review (2021) menunjukkan bahwa regulasi yang terlalu ketat pada sektor ekonomi gig dapat menyebabkan menurunnya jumlah pekerja yang bisa mengakses pekerjaan berbasis platform ini. (*)