Hati-Hati Regulasi THR Bagi Platform Digital, Jangan Sampai Aplikator Tutup, Mitra Menganggur

Menurut Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) BPS, Indonesia memiliki 84,2 juta pekerja informal, 41,6 juta di antaranya sebagai pekerja gig.

Tribun Cirebon/ Eki Yulianto
DEMO OJOL - Foto ilustrasi para driver ojek online saat melakukan aksi unjuk rasa ke Balai Kota Cirebon pada tahun 2023. Modantara mengimbau agar penerapan kebijakan BHR perlu dipertimbangkan. (Arsip) 

TRIBUNJABAR.ID - Asosiasi Mobilitas dan Pengantaran Digital Indonesia (Modantara) yang menaungi pelaku industri mobilitas dan pengantaran berbasis platform digital di Indonesia, memberikan pernyataan resmi soal wacana Bantuan Hari Raya (BHR) dan status pekerja tetap untuk mitra platform digital.

Modantara mengapresiasi semangat gotong royong dalam mendukung mitra di hari raya serta menghargai perhatian pemerintah terhadap mitra platform digital.

Direktur Eksekutif Modantara, serta Senior Advisor untuk Asia Tenggara di Blue Owl Group, Agung Yudha, menyebut seluruh pihak perlu mengingat jika kebijakan yang diatur tidak berimbang, maka berpotensi menimbulkan dampak ekonomi serius bagi industri berkembang yang memiliki ekosistem bisnis yang unik, dibandingkan sektor konvensional.

Baca juga: Ojek Online Demo Tutut THR 2025, Pemerintah Setuju, Grab Respons dengan 6 Inisiatif Untuk Mitra

"Dalam praktiknya, pelaku industri on-demand masih menghadapi berbagai tantangan dalam mengusahakan pertumbuhan bisnis yang berkelanjutan," ujar Yudha dalam keterangannya, Minggu (23/2/2025),

Agung menyebut saat ini sektor platform digital (aplikator) telah memberikan akses bagi jutaan individu untuk memperoleh penghasilan alternatif dengan fleksibilitas tinggi, sebuah karakteristik utama yang menjadi daya tarik industri ini.

Berdasarkan data ITB (2023), model kerja fleksibel ini bahkan telah berkontribusi pada 2 persen dari PDB Indonesia pada tahun 2022. Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa setiap kebijakan yang diterbitkan tidak justru menghambat pertumbuhan atau bahkan membatasi manfaat yang telah diberikan kepada para mitra.

Selain itu, berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) BPS, Indonesia memiliki 84,2 juta pekerja informal, dengan 41,6 juta di antaranya sebagai pekerja gig. Dari jumlah tersebut, sekitar 1,8 juta atau 4,6 persen bekerja di layanan ride-hailing seperti ojek dan taksi online.

"Artinya, regulasi yang kurang tepat pasti dapat berdampak pada jutaan individu yang menggantungkan hidupnya pada industri ini," ujarnya.

Adapun prinsip dasar hubungan “kemitraan”, menurut Agung,  adalah memberikan kebebasan pada mitra untuk berusaha termasuk antara lain menentukan jam bekerja mereka, jenis pekerjaan, serta apakah pekerjaannya merupakan pekerjaan lepas atau pekerjaan tetap.

Baca juga: Persija Jakarta Gagal Dekati Persib Bandung Setelah Keok 0-1 dari PSM Makassar, Bobotoh Senang?

Hubungan ini diperjelas, khususnya untuk platform ride-hailing, dalam Pasal 15 Ayat (1) Peraturan Menteri Perhubungan No. 12 Tahun 2019, yang menyatakan bahwa hubungan antara perusahaan aplikasi dengan pengemudi merupakan hubungan kemitraan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Agung kemudian mengutik Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies, Yose Rizal Damuri (Naskah Kebijakan, Tenggara Strategics, 2023), yang menegaskan bahwa perusahaan platform (aplikator) bukan berkedudukan sebagai pemberi kerja, tetapi hanya memfasilitasi pertemuan antara yang membutuhkan jasa dan yang menyediakan jasa.

Namun, terdapat persepsi yang keliru bahwa perusahaan platform menyediakan lapangan pekerjaan sehingga secara tidak langsung menimbulkan citra seolah-olah mereka adalah pemberi kerja.

Sejalan dengan pandangan Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, kebijakan yang berkaitan dengan industri platform digital seharusnya tidak dilihat sebagai regulasi terhadap bisnis tersendiri, melainkan sebagai bagian dari ekosistem yang mendukung sektor lain, termasuk UMKM, pedagang pasar, warung kelontong, serta industri skala rumah tangga.

"Setiap kebijakan harus mempertimbangkan kepentingan utama para pemangku kepentingan—perusahaan aplikator, mitra, konsumen, dan bisnis lain yang bergantung pada layanan platform digital. Jika tidak, regulasi ini berpotensi menghambat pertumbuhan digitalisasi nasional," ujarnya.

Dampak negatif dari kebijakan yang terlalu kaku terhadap platform digital antara lain:

  • Pengurangan Jumlah mitra
Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved