TRIBUNJABAR.ID, JAKARTA - Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) hari ini menjadi wadah aspirasi terkait Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan, khususnya Pengamanan Zat Adiktif dan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik.
Pada konferensi pers yang digelar di Jakarta, APINDO menyampaikan berbagai keluhan lebih dari 20 asosiasi lintas sektor terkait dampak signifikan regulasi ini terhadap industri hasil tembakau (IHT) dan sektor-sektor terkait.
APINDO mengingatkan bahwa pasal-pasal bermasalah dalam PP 28 dan RPMK dikhawatirkan dapat menciptakan ketidakstabilan di berbagai sektor terkait, termasuk ritel, pertanian, dan industri kreatif yang bergantung pada ekosistem IHT.
Franky Sibarani, Wakil Ketua Umum APINDO, menegaskan, idustri saat ini sedang sangat prihatin.
Baca juga: Indonesia Jadi Incaran Pihak Asing Terkait IHT, Coba Menekan Pasar Domestik
Regulasi yang dibuat jangan sampai mematikan industri tembakau dan sektor-sektor terkait.
Para Asosiasi Lintas Sektor juga menyoroti bahwa kebijakan yang diambil tanpa mempertimbangkan keseimbangan antara perlindungan kesehatan dan dampak ekonomi dapat mengganggu kestabilan perekonomian nasional.
Beberapa poin penting yang menjadi aspirasi utama adalah :
1. Pembatalan ketentuan mengenai standarisasi kemasan atau kemasan polos (plain packaging), yang tidak sejalan dengan dan melampaui mandat pengaturan standarisasi di PP No. 28 untuk produk tembakau dan rokok elektronik.
APINDO menegaskan bahwa kebijakan ini berpotensi mengurangi daya saing produk lokal dan justru membuka peluang bagi peningkatan rokok ilegal.
2. Penolakan terhadap pembatasan kadar tar dan nikotin dalam produk tembakau, yang dinilai tidak efektif dalam menurunkan konsumsi rokok, tetapi justru akan memukul industri secara signifikan.
Penetapan ambang batas yang terlalu rendah untuk tar dan nikotin akan berdampak negatif pada seluruh rantai pasok industri, mulai dari petani tembakau hingga pabrik rokok.
Ini berisiko meningkatkan impor tembakau dan merugikan produksi dalam negeri, sekaligus memicu munculnya produk ilegal dengan kadar yang tidak terkontrol.
3. Penolakan terhadap larangan zonasi penjualan produk tembakau dan rokok elektronik dalam radius 200 meter serta larangan iklan luar ruang dalam radius 500 meter dari fasilitas pendidikan dan tempat ibadah untuk pelaku usaha yang sudah beroperasi saat ini.
Pembatasan usia pembelian yang ketat sudah diberlakukan.
Zonasi tambahan ini hanya akan menambah beban pelaku usaha yang sudah ada tanpa memberikan dampak nyata terhadap pengendalian konsumsi. Melarangnya secara total tanpa mempertimbangkan konteks hanya akan mengurangi visibilitas dan keuntungan industri legal, sementara rokok ilegal akan mendapatkan pangsa pasar lebih besar.
Agus Parmuji, Ketua Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), menyoroti dampak besar yang akan dialami petani tembakau jika ketentuan ini diterapkan secara ketat.
"Petani tembakau menggantungkan hidupnya pada industri ini. Peraturan yang tidak memperhitungkan keberlanjutan sektor pertanian akan memukul keras para petani beserta yang telah berkontribusi besar terhadap perekonomian lokal," ujar Agus.
Ia juga menegaskan pentingnya melibatkan para petani dalam setiap tahap pengambilan keputusan IHT.
Henry Nayoan, Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), turut menyuarakan kekhawatirannya terhadap dampak kebijakan yang terlalu ketat.
Baca juga: Satres Narkoba Polres Purwakarta Bongkar Produksi Tembakau Sintetis Rumahan di Pasawahan
"Rokok ilegal akan semakin menjamur jika regulasi yang diterapkan justru menekan industri formal. Kemasan polos dan pembatasan iklan luar ruang bukanlah solusi efektif untuk menurunkan prevalensi merokok, tetapi hanya akan membuka jalan bagi produk ilegal yang merugikan negara dari segi penerimaan cukai," jelas Henry.
Pada akhirnya, APINDO bersama lebih dari 20 elemen-elemen industri hasil tembakau dan pemangku kepentingan lainnya menyatakan sikap tegas terhadap regulasi yang dianggap tidak adil ini.
APINDO mendesak agar proses penyusunan dan pelaksanaan PP 28 dan RPMK lebih terbuka dan melibatkan seluruh pihak terdampak secara komprehensif, guna mewujudkan kebijakan yang berimbang dan berbasis pembuktian (evidence-based policy).
"Kami tidak menolak regulasi, tetapi regulasi ini harus disusun dan diterapkan secara adil dan berimbang, mengingat perkembangan perekonomian terkini serta kompleksitas posisi industri hasil tembakau dalam menopang ekonomi nasional. Kami juga mendukung komitmen pelaku usaha industri hasil tembakau utk mencegah akses pembelian rokok oleh anak-anak dan APINDO mengajak seluruh stakeholder untuk bisa bersama-sama meningkatkan edukasi dan literasi pencegahan merokok kepada kelompok usia di bawah 21 tahun," tegasnya.
Franky juga menggaris bawahi, pentingnya pemerintah melakukan pendalaman bahwa kondisi sosio-ekonomi Indonesia sangat berbeda dengan industri tembakau yang menyerap banyak tenaga kerja, jadi tidak bisa hanya berkaca ke negara-negara tertentu untuk begitu saja mencontoh kebijakannya tanpa pendalaman.