Kebijakan Blokir Rekening Dormant Dinilai Efektif, tapi Bisa Kontraproduktif
Tujuan dari kebijakan ini memang sejalan dengan upaya memperketat pengawasan terhadap dana mencurigakan.
Penulis: Nappisah | Editor: Muhamad Syarif Abdussalam
Laporan Wartawan Tribun Jabar, Nappisah
TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG — Kebijakan pembekuan rekening dormant atau tidak aktif yang digulirkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dinilai mampu mempersempit ruang gerak pencucian uang.
Kendati demikian, jika tidak disertai dengan kemudahan layanan dan pendekatan yang adaptif, kebijakan ini justru bisa menimbulkan dampak negatif terhadap inklusi keuangan.
Menurut Kristian Widya Wicaksono, pengamat kebijakan publik dari Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), tujuan dari kebijakan ini memang sejalan dengan upaya memperketat pengawasan terhadap dana mencurigakan.
Ia menjelaskan bahwa pembekuan rekening dorman dapat menjadi sarana efektif untuk memperbarui data nasabah serta memverifikasi identitas dan sumber dana.
“Dengan memaksa nasabah melakukan reaktivasi, bank dapat memperbarui data, memastikan identitas pemilik rekening, dan memverifikasi sumber dana sebelum mengizinkan transaksi lebih lanjut,” ujarnya kepada Tribun Jabar, Selasa (30/7/2025).
Kristian menilai bahwa dari sudut pandang manajemen risiko, pendekatan tersebut memang cukup ampuh menekan peluang terjadinya penyimpanan dana hasil kejahatan di rekening yang tidak lagi diawasi secara aktif oleh pemiliknya maupun regulator.
Namun, di sisi lain, ia menggarisbawahi adanya keluhan masyarakat terutama dari wilayah yang belum terjangkau layanan digital secara merata. Bagi mereka, keharusan datang ke kantor cabang untuk mengaktifkan rekening yang dibekukan dianggap membebani, terlebih jika saldo dalam rekening tergolong kecil.
“Harus datang ke cabang bank terdekat untuk membuka blokir bukan saja merepotkan, tetapi juga berbiaya sementara nilai saldo rekening dorman seringkali sangat kecil,” ucapnya.
Kondisi tersebut, kata Kristian, dapat menimbulkan efek samping berupa penurunan kepercayaan terhadap layanan perbankan formal.
Dia menyebut beberapa nasabah akhirnya memilih menutup rekening atau malah beralih ke lembaga keuangan informal yang berada di luar pengawasan PPATK.
“Akibatnya, sebagian nasabah memilih menutup rekening sama sekali atau bahkan beralih ke layanan keuangan tidak formal yang tidak tercakup pengawasan PPATK,” tuturnya.
Lebih lanjut, Kristian menyoroti lemahnya dukungan teknologi dalam implementasi kebijakan ini. Meski ditujukan untuk memperkuat pengawasan terhadap dana pasif, kebijakan tersebut belum diimbangi dengan kemudahan reaktivasi secara daring atau melalui kanal digital perbankan.
“Sebuah kebijakan pencegahan justru dapat menciptakan beban kepatuhan (compliance burden) yang lebih besar bagi pengguna biasa,” ujarnya.
Ia menuturkan, kurangnya opsi reaktivasi secara daring atau via layanan elektronik bank membuat kebijakan ini terasa kaku dan kontraproduktif dengan upaya digitalisasi sektor perbankan.
Pengamat Respons SE Gubernur Dedi Mulyadi Soal Larangan Knalpot Tak Sesuai Spesifikasi |
![]() |
---|
Cara Dapatkan BSU Rp 600 Ribu untuk Guru PAUD Non-Formal 2025, Lengkap Link Cek Penerimanya |
![]() |
---|
Pemkot Bandung Siap Berkolaborasi untuk Aktivasi IKD di Lingkungan Kampus |
![]() |
---|
Beras dan BBM Oplosan hingga Pemblokiran Rekening, HLKI: Konsumen Indonesia Belum Merdeka |
![]() |
---|
Geger, Rekening Yayasan Ketua MUI Berisi Saldo Rp300 Juta Diblokir, PPATK Buka Fakta dan Klarifikasi |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.