KISAH Komunitas Ngadaur, Intens Mengolah Sampah Tingkat RW Kini Raih Penghargaan dari Australia
Komunitas Ngadaur, sebuah kumpulan para pengolah sampah yang dirintis Tubagus Ari, kini dilirik hingga ke Melbourne, Australia.
Penulis: Putri Puspita Nilawati | Editor: Kemal Setia Permana
“Bahkan membakar sampah plastik sembarangan itu mengganggu wisatawan dan merusak tanah, padahal petani hidup dari situ,” kata dia.
Ngadaur pun menawarkan solusi konkret, salah satunya adalah inovasi Cobox atau composting in the box, alat sederhana pengurai sampah organik untuk rumah tangga. Bentuknya kotak kecil berisi biang kompos.
Baca juga: PN Indramayu Upayakan Mediasi Damai dalam Konflik Kakek Gugat Cucu Soal Sengketa Tanah
“Cukup taruh sampah dapur ke dalamnya tiap hari, nanti terurai sendiri tanpa bau, cocok buat rumah tanpa kebun,” ujar Ari.
Inovasi ini yang kemudian membawa Ngadaur menembus panggung internasional. Tahun ini, mereka terpilih menjadi pemenang Food Waste Challenge yang digelar di Melbourne, Australia, untuk kategori Airline Catering.
“Saya awalnya berharap bisa pitching tentang hotel atau kafe, karena kami sudah berpengalaman. Tapi ternyata dikasih tantangan soal limbah makanan di maskapai penerbangan. Ya sudah, kami ajukan ide soal Cobox dan sistem pemilahan,” katanya.
Pengamatan Ari terhadap sistem pemilahan makanan di Garuda Indonesia membuahkan solusi nyata.
“Makanan, plastik, semuanya dicampur, padahal tukang pilahnya bisa loh kalau sistemnya benar. Kami tawarkan sistem pemilahan terintegrasi dan alat sederhana,” ucapnya.
Hal menarik dari pendekatan Ngadaur adalah mereka tidak bergantung pada mesin canggih. Semua proses dilakukan secara manual, berbasis pengetahuan lokal. Ari menyebut pendekatannya sebagai “jadul tapi jitu”.
“Saya basic-nya antropologi. Saya percaya sebelum ngomong teknologi, kita harus tahu siapa kita. Aplikasi boleh banyak, tapi kalau nggak dipakai ya percuma. Lebih penting membentuk kebiasaan dulu,” ujarnya.
Bagi Ari, perubahan besar harus dimulai dari kesadaran kecil. Mulai dari memilah sampah di rumah, tidak membuang sembarangan, hingga menghargai kerja petugas kebersihan.
“Banyak yang tinggal buang sampah sembarangan. Petugas sampah dipandang sebelah mata. Padahal kalau enggak ada mereka, bisa banjir, tapi nyalahin pemerintah terus,” kata Ari.
Saat ini, Ngadaur juga aktif mendampingi pengelolaan sampah di Poltekpar NHI Bandung. Alih-alih memulai dari edukasi teori, mereka langsung menyasar TPS kampus.
Meskipun tidak memiliki mesin canggih, Ari ingin membangun mental yang kuat yang sudah lama hilang di masyarakat. Ia pun melihat mengelola sampah bukan hanya urusan teknologi tetapi tentang pola pikir, kebiasaan dan semangat gotong royong. (*)
IATL ITB Membangun Kelembagaan Lokal untuk Atasi Persoalan Sampah di Kota Bandung |
![]() |
---|
Bebas Sampah Bukan Mimpi, BSID Luncurkan Platform untuk Lawan Krisis Sampah |
![]() |
---|
Dari Konflik Jadi Simbol Damai: GSG Arcamanik Siap Sambut Menteri HAM dan Gubernur Jabar |
![]() |
---|
136 Titik Penumpukan Sampah di Bandung Tertangani, Kini Tinggal Fokus Pengolahan di TPS |
![]() |
---|
Musim Pancaroba, Pantai Legokjawa Pangandaran Dipenuhi Sampah yang Terbawa Arus Laut |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.