Mengedepankan Ihsan

Sekurang-kurangnya sebelas kali Allah menggunakan kata “ihsan” dalam Al Qur’an untuk menyebut perbuatan yang baik.

Editor: Siti Fatimah
Dok.Pribadi/Twitter
MIFTAH FARIDL - Ketua MUI Kota Bandung, Prof Dr KH Miftah Faridl 

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG

Mengedepankan Ihsan 

Oleh : Prof. Dr. Miftah Faridl 

Ketua Umum MUI Kota Bandung 

Istilah “Ihsan” menghangat pada beberapa hari terakhir ini.

Bukan karena baru,  tapi karena digunakan untuk menamai salah satu fasilitas publik, dan diganti dengan  bahasa lokal untuk kepentingan tetentu.

Menghangat, karena pergantian itu memicu  kontroversi orang banyak. Menjadi semakin menghangat ketika istilah itu dikait-kaitkan dengan dimensi agama yang dipeluk mayoritas penduduk di tempat fasilitas itu  berdiri.

Orang pun banyak yang berusaha mencari asal muasal istilah itu, dan mencari  tahu apa hubungannya dengan agama keyakinan seseorang. 

Sekurang-kurangnya sebelas kali Allah menggunakan kata “ihsan” dalam Al Qur’an untuk menyebut perbuatan yang baik.

Dua di antaranya memakai “alif-lam”,  al-ihsan, yaitu pada surah al-Rahman ayat ke-60 dan surah al-Nahl ayat ke-90.

Bila  diterjemahkan, keduanya berarti kebaikan atau kebajikan.

Yang pertama Allah  menjelaskan: “Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).”

Sedang yang  kedua, penjelasan itu berbunyi: ”Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil  dan berbuat kebajikan (ihsan), memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari  perbuatan keji, kemunkaran dan permusuhan.

Dia memberi pengajaran kepadamu agar  kamu dapat mengambil pelajaran.” 

Demikian pula dalam sembilan ayat lainnya, kata “ihsan” diterjemahkan  menjadi suatu kebaikan dan perbuatan baik.

Bahkan ayat ke-83 dari surah al-Baqarah,  “ihsan” digunakan sebagai pengganti kata berbuat baik kepada kedua orang tua,  sebagaimana dalam firman-Nya: “Janganlah kamu menyembah sesuatu selain Allah,  dan berbuat baiklah (ihsan) kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan  orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah  shalat dan tunaikanlah zakat.” 

Pada ayat tersebut, Allah menyebut “ihsan” sejajar dengan larangan berbuat  syirik, perintah berbuat baik kepada orang tua dan kaum kerabat, berbuat baik kepada  fakir miskin dan anak-anak yatim, mengucapkan kata-kata yang baik kepada sesama  manusia, serta mendirikan shalat dan menunaikan zakat.

Secara sederhana dapat  dipahami bahwa konsep “ihsan” adalah sama dan sebangun dengan konsep akhlak,  baik akhlak kepada Sang Pencipta, maupun akhlak kepada sesama manusia.  

Kata “ihsan” kemudian menjadi kontroversi ketika digunakan untuk melabeli  sesuatu karya manusia.

Terlepas dari kontroversi seperti itu, ihsan tetap bermakna luhur  sebagai derajat penyempurna amal seorang pemeluk Islam.

Suatu ketika Jibril bertanya  kepada Rasulullah tentang iman, Islam, dah ihsan. Setelah Nabi menjelaskan tentang  iman dan Islam, Jibril pun bertanya, ”Apakah ihsan itu?” Lalu Nabi menjelaskannya,  ”Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat Dia, dan apabila engkau  tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.” 

Makna inilah yang selanjutnya menjadi definisi “ihsan” yang kemudian sangat  populer digunakan, baik dalam kehidupan maupun hanya sebatas sumber referensi.  

Secara implisit makna tersebut mengisyaratkan pentingnya ikhlas sebagai faktor utama dalam beramal, seperti terungkap pada kalimat “seakan-akan engkau melihat Dia, dan  apabila engkau tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.” 

Kunci Ketulusan dalam Berbuat 

Pendeknya, dapat pula diartikan bahwa faktor “ihsan” harus selalu hadir  menyertai setiap motif dan seluruh perilaku manusiawi. Ihsan sejatinya menjadi napas  dan inspirasi dari keseluruhan amal manusia, bersenyawa dengan jenis pekerjaan dan  profesi apapun.

Karena itu, ihsan adalah juga pengendali motif-motif insani yang  mendasari keseluruhan tindakan aktivitas yang dilaluinya setiap saat. 

Itulah sebabnya, ketika berdialog dengan Rasulullah, Jibril menempatkan  pertanyaan tentang ihsan ini pada urutan terakhir setelah iman dan islam.

Ihsan dalam  hal ini menjadi dimensi penggenap amal setelah seseorang menyatakan keimanan dan  melaksanakan serangkaian ajaran seperti disyariatkan Islam.

Ihsan merupakan  kekuatan moral yang menyempurnakan setiap tindakan. 

Dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi serta budaya masyarakat saat ini, kita  perlu menghidupkan kembali spirit ihsan yang mungkin telah mati, sehingga tidak ada  lagi kebijakan, program, dan tindakan yang hanya berorientasi pada kepentingan  pribadi ataupun kelompok.

Semuanya merupakan implementasi pengabdian hanya  kepada-Nya untuk mewujudkan kebaikan. 

Kita tidak cukup hanya menjadi seorang pemeluk agama. Beragama saja tidak  cukup. Beragama (Islam) itu harus pula diikuti oleh sikap ihsan.

Demikianlah, Allah  menjelaskan bahwa: ”(Tidak demikian) bahkan barang siapa yang menyerahkan diri  (ber-Islam) kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan (ber-ihsan), maka baginya  pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak  (pula) mereka bersedih hati” (QS, 2: 112). 

Dalam kerangka inilah, kerja-kerja kemanusiaan, termasuk usaha mencari  nafkah seperti petani berladang di sawah, pedagang pergi ke pasar, karyawan bekerja  di kantor, guru mengajar di sekolah, atau pemerintah melayani rakyatnya, dapat dinilai  sebagai perbuatan ibadah.

Ibadah menjadi demikian luas maknanya dan demikian  banyak bentuknya. Karena itu, bukan sesuatu yang menyulitkan bila tugas manusia  memang hanya untuk beribadah, yaitu ibadah dalam cakupan makna yang sangat luas  seperti terungkap di atas. 

Dengan demikian, ihsan merambah segala ikhtiar yang mencakup seluruh  dimensi kehidupan, baik dimensi ritual maupun dimensi sosial. Ihsan harus hadir dalam  setiap tindakan.

Dalam shalat, misalnya, ihsan akan meluruskan motivasi dan  kekhusukan; dalam zakat, ihsan akan menjadi identitas pengabdian terhadap sesama  manusia untuk tulus menolong kaum yang lemah, menjalin ukhuwah, sekaligus  membangun solidaritas dengan sesama.

Demikian pula dalam menjalankan roda  kekuasaan, ihsan sejatinya tetap hadir sebagai kekuatan moral yang dapat  menggerakkan seluruh potensi spiritual manusia untuk berbuat hanya karena Allah,  bukan karena alasan popularitas, ataupun alasan pragmatisme lainnya. 

Demikian pula sebaliknya, dimensi sosial selalu menyertai ihsan karena pada  gilirannya ia akan melibatkan proses hubungan antar sesama manusia sebagai makhluk  sosial yang satu sama lain saling membutuhkan.

Jadi, dalam hubungan seperti itulah,  ihsan akan terlibat bersama-sama dengan iman dan Islam yang telah menjadi keyakinan para pelakunya.

Di sinilah ihsan menjadi potret sempurnanya akhlak. Yaitu kebajikan  yang telah mentradisi dalam setiap perilaku, memberikan nuansa moral dalam setiap  amal, dan menjadi alat kontrol dalam setiap pengambilan keputusan. 

Tidak ada ruang sedikitpun dalam beramal untuk memanjakan apapun selain  Tuhan. Dalam proses kekuasaan, rakyat hanyalah jembatan yang menghubungkan  penguasa dengan Tuhannya.

Kekuasaan yang sifatnya sangat sementara juga tidak  lebih dari sekedar fasilitas pengabdian hanya kepada-Nya, bukan untuk mendapatkan  penghargaan ataupun pujian dari rakyatnya, dan bukan pula untuk kepentingan  pencitraan di hadapan masyarakatnya. 

Ihsan akan membimbing kita untuk memperoleh kesempurnaan citra di  hadapan Tuhan.

Karena itu, berbuatlah dengan tulus, hindari motif-motif pragmatisme  yang hanya akan mengorbankan kepentingan orang banyak.

Berihsanlah dalam segala  bentuk perbuatan, termasuk dalam menjalankan roda kekuasaan.

 

Sumber: Tribun Jabar
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Mengedepankan Ihsan

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved