Sekolah Terpencil di Pelosok Rongga

Akses ke MI Cangkuang Bandung Barat Mengerikan, Setiap Jengkal Tak Lepas Menyebut Nama Tuhan

Jalan menuju Madrasah Ibtidaiyah Cangkuang, Rongga, KBB sangat mengerikan.Tak ada sejengkalpun yang kami lalui tanpa menyebut nama Tuhan...

|
Penulis: Arief Permadi | Editor: Arief Permadi
TRIBUN JABAR
Seorang murid MI Cangkuang, Rongga, KBB tersenyum. Ia selalu gembira meski sekolahnya berada di pesolosok yang sulit dijangkau. 

LAPORAN ARIEF PERMADI, JURNALIS TRIBUN JABAR

RONGGA, TRIBUNJABAR.ID - Jangan mengaku pemberani jika belum pernah menumpang ojek menuju Madrasah Ibtidaiyah (MI) Cangkuang. Itu satu-satunya sekolah di Kampung Langkob, titik terujung di Kabupaten Bandung Barat (KBB). 

Perjalanan ke sana seribu kali lebih mengerikan dari menaiki wahana kora-kora. Tanpa pengaman apapun termasuk helm, tak boleh salah perhitungan. Sedikit saja keliru, nyawa taruhannya. 

Perjalanan dari ujung jalan beraspal di Desa Bojongsalam, Kecamatan Rongga,  KBB, menuju MI Cangkuang, memang bukan perjalanan biasa. Dari SMP Negeri 2 Rongga, titik terakhir yang bisa dicapai kendaraan roda empat, MI Cangkuang masih terpaut empat kilometeran lagi. 

Selain sangat terjal dan berkelok-keok, sepanjang jalan hanyalah tanah lembek, batu-batu besar yang licin dan kubangan lumpur. Kemiringan di beberapa titik bahkan lebih dari 50 derajat. Hampir sulit dipercaya bisa ditempuh dengan sepeda motor.

Agnes Lukito, Head Division Eiger Women & Junior nenyusur jalan hutan menuju MI Cangkuang di Kecamatan Rongga, Kabupaten Bandung Barat
Agnes Lukito, Head Division Eiger Women & Junior nenyusur jalan hutan menuju MI Cangkuang di Kecamatan Rongga, Kabupaten Bandung Barat (TRIBUN JABAR)

Risiko bertambah karena di beberapa bagian, tepian jalan adalah jurang, yang meskipun tak dalam tapi bisa mematikan. 

Perlu lebih dari setengah jam dari dari SMP Negeri 2 Rongga hingga tiba di MI Cangkuang. Setengah jam yang sungguh terasa lama dan sangat menegangkan. Tak ada sejengkalpun yang kami lalui tanpa menyebut nama Tuhan.

Namun, bagi para pengojek, jalanan itu seperti halaman rumah saja. Seterjal apapun, mereka terus terseyum. 

"Santai saja, Kang. Aman," ujar Heri (42), salah seorang pengojek, yang Kamis (19/6/2025) lalu mengantar kami ke MI Cangkuang.

Alih-alih memelankan laju sepeda motornya, Heri justru menarik gas motornya lebih kencang. Saya hanya bisa berdoa, memejamkan mata, sambil memegang pinggangnya erat-erat. Pantas saja para pengojek mematok ongkos Rp 50 ribu untuk sekali jalan, dan tak mau lagi ditawar

Syukurlah dengan segala dramanya, kami akhirnya tiba di MI Cangkuang. Madrasah kecil yang hanya terdiri dari empat ruangan lantaran satu ruangan yang sebelumnya ada hancur diguncang gempa dua tahun lalu.

"Empat ruangan itu, tiga di antaranya dipakai sebagai ruang kelas. Satu ruangan lagi menjadi ruang guru, ruang kepala sekolah, sekaligus ruang tata usaha," ujar Asep Surahman (52), salah seorang guru yang juga merangkap sebagai Kepala MI Cangkuang. 

Salah satu ruang kelad MI Cangkuang, Rongga, KBB, yang hancur.
Salah satu ruang kelad MI Cangkuang, Rongga, KBB, yang hancur. (TRIBUN JABAR)

Sekelas Dua Rombel
Karena hanya memiliki tiga lokal kelas, murid-murid kelas 1 dan 2 belajar dalam satu kelas. Begitu pula murid kelas 3 dan 4, serta 5 dan 6.

Lantaran ada dua guru dan dua robel di satu kelas pada saat yang bersamaan, para guru terpaksa harus menerangkan pelajaran secara bergantian atau memelankan suaranya agar konsentrasi murid tidak terpecah. 

Namun, ajaibnya, mereka seperti tak kesulitan. Kalau saja tak melihatnya sendiri, sulit sekali membayangkan hal itu terjadi. 

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved