Efektivitas Satgas PKH Dipertanyakan, Pemerintah Diminta Evaluasi

Efektivitas satgas kerap sulit diukur karena lemahnya akuntabilitas. Satu-satunya indikator yang sahih adalah laporan hasil pemeriksaan dari BPK

Penulis: Nappisah | Editor: Muhamad Syarif Abdussalam
Tribun Jabar/Deanza Falevi
ILUSTRASI HUTAN - Suasana hutan pinus di Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat. 

Laporan Wartawan Tribun Jabar, Nappisah

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG — Sejak reformasi 1998, pembentukan satuan tugas (satgas) melalui Keputusan Presiden dan Peraturan Presiden terus mengalami lonjakan. Setidaknya, 21 satgas telah dibentuk selama 25 tahun terakhir. Yang terbaru, Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) diluncurkan awal 2025 oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus, menilai bahwa efektivitas satgas kerap sulit diukur karena lemahnya akuntabilitas. Bagi dia, satu-satunya indikator yang sahih adalah laporan hasil pemeriksaan dari BPK.

“Reformasi 1998 bukan hanya melahirkan demokrasi, tapi juga ledakan lembaga ad hoc bernama satuan tugas. Namun, pertanyaannya sederhana, apakah mereka terbukti bekerja efektif dan akuntabel? Jawaban paling jujur datang dari LHP BPK,” ujar Iskandar, Jumat (4/7/2025).

Pembentukan Satgas PKH lewat Perpres Nomor 5 Tahun 2025 memang menyasar penertiban kawasan hutan berskala besar. Namun menurut Iskandar, langkah-langkah fisik seperti menguasai jutaan hektare lahan tetap menyisakan banyak catatan.

Salah satu isu utama yang ia soroti adalah belum adanya skema ganti rugi yang jelas bagi masyarakat terdampak. Ia juga mengingatkan potensi konflik agraria yang bisa muncul akibat relokasi yang dipaksakan tanpa pendekatan berbasis hukum adat.

“Lebih parah lagi, bisa saja BPK beri catatan yang memperingatkan: ‘Risiko konflik horizontal meningkat jika penyelesaian tidak berbasis hukum adat dan musyawarah lokal,’” ucapnya.

Tak berhenti di situ, Iskandar juga menyoroti bahwa sebagian besar lahan yang masuk dalam kategori kawasan hutan belum bersertifikat atas nama negara. Situasi ini, katanya, membuka ruang sengketa hukum yang bisa berlangsung bertahun-tahun dan menambah ketidakpastian.

Dalam kacamata audit, ia memperkirakan BPK kelak akan merekomendasikan peninjauan ulang terhadap aturan main satgas serta mendorong penggunaan pendekatan audit sosial partisipatif agar publik bisa ikut mengawasi.

Ia menyebut bahwa persoalan satgas bukan semata soal konflik lahan, melainkan juga menyangkut legitimasi kebijakan. Menurutnya, hingga kini masih banyak kawasan hutan yang belum melalui tahapan resmi: penunjukan, penetapan, dan pengukuhan.

 “Bahkan, lahan yang selama puluhan tahun telah digarap oleh masyarakat sebagai kebun sawit kini tiba-tiba dikategorikan sebagai kawasan hutan,” ujar Iskandar.

Situasi semacam ini, lanjutnya, bisa menjadi bumerang jika pendekatan pemerintah hanya mengedepankan instrumen kuasa tanpa disertai keadilan hukum.

Gelombang protes dari berbagai daerah, menurut Iskandar, adalah peringatan keras: Satgas PKH bisa menjadi satuan tugas paling kontroversial sepanjang sejarah jika tidak segera dievaluasi.

Untuk membandingkan, Iskandar menyinggung Satgas Koopssus TNI yang menurutnya berhasil menjalankan mandat dengan baik. 

Dibentuk lewat Perpres Nomor 42 Tahun 2019 dan didukung anggaran Rp3,9 triliun, Koopssus dinilai sukses berkat struktur komando yang jelas dan sistem pertanggungjawaban yang disiplin.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jabar
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved