Negara Diingatkan untuk Tidak Abaikan Sejarah dan Hak Adat dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi
Penetapan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) dan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) sebagai kawasan konservasi kembali menjadi sorotan.
Penulis: Nappisah | Editor: Muhamad Syarif Abdussalam
Laporan Wartawan Tribun Jabar, Nappisah
TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG — Penetapan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) dan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) sebagai kawasan konservasi kembali menjadi sorotan.
Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus, menilai kebijakan konservasi negara di wilayah ini belum sepenuhnya mencerminkan penghargaan terhadap warisan adat dan nilai-nilai lokal.
Ia menyebut, Suku Talang Mamak telah menetap dan mengelola kawasan TNBT dan TNTN sejak berabad-abad lalu jauh sebelum negara hadir dengan konsep kehutanan modern.
“Jauh sebelum Republik Indonesia punya departemen kehutanan, sebelum Jepang menjajah, bahkan sebelum Belanda membuat peta topografi, wilayah TNBT dan TNTN sudah dihuni, dikelola, dan dijaga. Penjaganya bukan tentara. Bukan negara. Tapi masyarakat adat, bernama Suku Talang Mamak,” ujar Iskandar, Selasa (24/6/2025).
Dia menjelaskam, tradisi lisan dan sejumlah dokumen kolonial seperti laporan Van Dongen pads 1906 hingga peta tahun 1915, menunjukkan bukti kuat bahwa wilayah tersebut telah dikenal sebagai pemukiman tetap, bahkan disebut “Mamak Dorpen” oleh Belanda.
Menurut Iskandar, pengelolaan hutan oleh Talang Mamak sudah berlangsung dengan sistem konservasi berbasis nilai-nilai adat.
Mereka menerapkan larangan adat, membagi fungsi hutan secara berkelanjutan, dan menjalankan sistem ladang berpindah dengan masa bera yang panjang.
“TNBT lebih tepat disebut sebagai wilayah adat yang dikelola turun-temurun. TNTN sudah banyak berubah karena pemetaan ulang negara pasca-era HPH. TNBT bukan hanya menyimpan karbon, tapi juga ritual dan larangan adat. Mereka bukan penghuni ilegal seperti sering dicap,” katanya.
Penetapan TNBT sebagai taman nasional dilakukan lewat SK Menteri Kehutanan No. 539/Kpts-II/1995. Namun, menurut IAW, proses tersebut tidak disertai pengakuan formal atas keberadaan dan hak historis Talang Mamak.
“Tak ada konsultasi adat. Tak ada pengakuan sejarah Talang Mamak. Yang ada, garis batas yang masuk ke wilayah ladang, kuburan leluhur, dan hutan sakral milik masyarakat adat,” ungkap Iskandar.
Dia menuturkan, laporan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) tahun 2018 mencatat sedikitnya 17 desa Talang Mamak kehilangan akses terhadap ruang hidupnya setelah kawasan tersebut diklaim sebagai taman nasional. Data dari Kementerian Dalam Negeri tahun 2020 pun menunjukkan delapan wilayah adat kini tumpang tindih dengan zona konservasi.
Pada tahun 2007, lanjut dia, protes sempat terjadi ketika ratusan warga Talang Mamak menduduki kantor Balai TNBT untuk menuntut pengakuan atas hak adat mereka. Namun hingga kini, klaim negara atas hutan tetap berlanjut tanpa ada surat kepemilikan yang terdokumentasi sebelum tahun 1995.
Iskandar juga menyoroti bahwa skema restorasi ekosistem di kawasan ini sejak 2015 telah membuka jalan bagi pihak luar untuk mengelola hutan adat. Pemerintah, melalui izin resmi, menyerahkan pengelolaan 38.665 hektare kepada PT Alam Bukit Tigapuluh yang bermitra dengan lembaga donor asing.
“Hutan adat menjadi proyek restorasi, dikelola lembaga asing, tanpa kepemilikan oleh masyarakat yang tinggal di sana sejak ratusan tahun lalu,” jelasnya.
Empat Bulan Berjalan, Kinerja Danantara Mulai Disorot |
![]() |
---|
Rangkap Jabatan Dinilai Ganggu Integritas Tata Kelola Pemerintahan |
![]() |
---|
Audit Aset Negara Dinilai Perlu untuk Antisipasi “Serakahnomics" |
![]() |
---|
Polemik Pengadaan Chromebook: IAW Dorong Audit dan Peninjauan Regulasi |
![]() |
---|
Efektivitas Satgas PKH Dipertanyakan, Pemerintah Diminta Evaluasi |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.