SOSOK Jaya Dewata, Ayah Walang Sungsang yang Tuai Sorotan karena Dijadikan Nama Bale di Cirebon

Nama Jaya Dewata yang akan dijadikan nama Kantor Gubernur Jawa Barat di Cirebon, menuai reaksi. 

Editor: Giri
Tribun Jabar/ Eki Yulianto
BERUBAH NAMA - Pelang Kantor Gubernur Bale Jaya Dewata di Jalan Siliwangi, Kota Cirebon. Perubahan nama gedung yang sebelumnya bernama Gedung Negara diprotes budayawan setempat. 

Cat yang berada di sekitarnya tampak masih baru, menandakan pembuatan nama tersebut baru dilakukan akhir-akhir ini. 

Jajat Sudrajat mengaku terkejut saat pertama kali mengetahui perubahan nama tersebut dari rekan-rekan pegiat sejarah Kabupaten Cirebon.

“Ya, jadi kemarin itu saya dapat kabar dari teman-teman pegiat sejarah budaya Kabupaten Cirebon. Kemudian saya dikirimkan foto lewat WhatsApp, kantor gubernur bawahnya Bale Jaya Dewata. Loh saya kaget, ini penamaan ini dasarnya apa?” ujar Jajat.

Jajat menyayangkan tidak adanya pelibatan masyarakat atau tokoh budaya Cirebon dalam proses pemberian nama gedung bersejarah itu.

Meski mengakui gedung tersebut merupakan aset milik Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Jajat menegaskan pentingnya mempertimbangkan lokasi gedung yang berada di Kota Cirebon, serta aspek historis dan kulturalnya.

“Betul, gedung eks karesidenan itu kepemilikannya provinsi. Tapi lokusnya ada di Kota Cirebon loh."

"Kalau pun Gubernur punya wacana, apa salahnya ngajak bicara? Terlepas dari perwakilan keraton, pegiat budaya, saya pikir agar tidak jadi polemik,” jelas dia.

Ia pun menyoroti pemilihan nama Bale Jaya Dewata yang dianggap tidak relevan dengan sejarah lokal Cirebon.

“Jaya Dewata itu nama muda dari Prabu Siliwangi. Beliau belum pernah ke Cirebon kok."

"Kita banyak kok tokoh-tokoh Cirebon yang inspiratif, seperti Panembahan Losari atau Pangeran Sucimanah"

"Cuma mbok ya saat pemberian nama, diajak diskusi, catat bukan alih fungsinya, tapi penamaannya," katanya. 

Tokoh pegiat budaya lainnya, Chaidir Susilaningrat turut menyuarakan keprihatinannya.

Menurutnya, proses penamaan gedung bersejarah seharusnya melibatkan semua pemangku kepentingan budaya.

“Penamaan gedung bersejarah semestinya dimusyawarahkan dengan semua pihak terkait, dalam hal ini stakeholder kebudayaan, mengingat misi dari penamaan gedung itu tentunya berkaitan dengan upaya pelestarian warisan budaya bangsa,” ujar Chaidir.

Ia juga menilai perubahan nama dilakukan secara diam-diam tanpa sosialisasi yang layak.

Sumber: Tribun Cirebon
Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved