Kebijakan Pembebasan Ijazah: Terjebak Populis Mengundang Anarkis

TRIBUNJABAR.ID - Belakangan ini, kebijakan Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat menerbitkan surat edaran terkait percepatan penyerahan ijazah jenjang

Istimewa
Kebijakan Pembebasan Ijazah: Terjebak Populis Mengundang Anarkis 

Oleh: H. Maulana Yusuf Erwinsyah

 

TRIBUNJABAR.ID - Belakangan ini, kebijakan Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat menerbitkan surat edaran terkait percepatan penyerahan ijazah jenjang SMA, SMK, dan SLB tahun ajaran 2023/2024 atau sebelumnya menjadi sorotan publik. Isu ini mencuat di tengah keresahan masyarakat terhadap praktik penahanan ijazah oleh sekolah akibat tunggakan biaya pendidikan. 

2Kebijakan Pembebasan Ijazah: Terjebak Populis Mengundang Anarkis
Kebijakan Pembebasan Ijazah: Terjebak Populis Mengundang Anarkis

Sepintas, kebijakan ini tampak mulia dan berpihak pada rakyat kecil. Namun, jika ditelaah lebih dalam, kebijakan yang terjebak dalam euforia populisme ini justru berpotensi menciptakan ketidakadilan baru, khususnya bagi sekolah swasta. Bahkan, mengundang potensi anarkisme dalam sistem pendidikan kita.

Kebijakan Populis yang Tidak Bijak

Populisme dalam konteks ini adalah upaya menghadirkan kebijakan yang tampak "pro-rakyat" tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang. Kebijakan pembebasan ijazah digaungkan oleh pemerintah sebagai solusi instan atas ketidakmampuan sebagian orang tua membayar biaya pendidikan. Namun, apakah semata-mata memutuskan rantai kewajiban finansial tanpa solusi struktural benar-benar menjadi jawaban?

Ijazah bukan sekadar selembar kertas, melainkan representasi dari proses pendidikan yang melibatkan sumber daya manusia, fasilitas, dan biaya operasional. Menghapus kewajiban administratif tanpa memperhitungkan bagaimana institusi pendidikan bertahan justru akan menimbulkan ketimpangan baru. Sekolah akan kehilangan pendapatan penting yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Akhirnya, siapa yang dirugikan? Para siswa itu sendiri.

Ketidakjelasan Data: Siapa yang Benar-Benar Tidak Mampu?

Ada yang luput dari kebijakan pemerintah ini, tidak adanya data yang akurat untuk membedakan mana keluarga yang benar-benar tidak mampu dan mana yang sebenarnya mampu tetapi malas untuk membayar. Apakah kita mau menutup mata terhadap fakta ini? Apakah semua tunggakan murni karena ketidakmampuan ekonomi, atau ada juga yang sekadar abai terhadap kewajibannya?  

Lebih jauh lagi, di balik dinding-dinding sekolah, ada hak-hak tenaga pendidik yang harus dipenuhi. Banyak guru honorer dan tenaga kependidikan yang mengandalkan iuran peserta didik untuk kelangsungan hidup mereka. Bantuan dari pemerintah, meskipun ada, sering kali belum cukup untuk menutup semua kebutuhan operasional, terutama di sekolah-sekolah swasta. Jika bukan dari iuran siswa, dari mana lagi mereka mendapatkannya?  

Mengundang Kegaduhan dan Anarkis

Kebijakan pembebasan ijazah ini, alih-alih menjadi solusi, justru mengundang kegaduhan di lapangan. Sekolah-sekolah, khususnya swasta, menjadi sasaran kemarahan publik. Mereka digeruduk, dimaki-maki, diviralkan di media sosial sebagai institusi yang tidak berperikemanusiaan karena dianggap "menahan" ijazah.  

Masih mending jika itu terjadi di sekolah negeri yang memiliki dukungan anggaran lebih kuat. Lalu bagaimana dengan sekolah swasta yang sebagian besar operasionalnya bergantung pada biaya pendidikan dari peserta didik? Apakah mereka harus dikorbankan hanya karena kebijakan populis yang tidak mempertimbangkan realitas di lapangan?  

Atas laporan Forum SMK se-Jawa Barat, total tunggakan biaya ijazah ini mencapai angka fantastis, sekitar 722 miliar rupiah. Itupun baru dari sekolah SMK yang ada di 14 Kabupaten/kota, belum SMA, dan apalagi jika dijumlahkan se-Jawa Barat.
Pertanyaannya, dari mana anggaran sebesar itu akan ditutup? Kalaupun pemerintah Jawa Barat berniat menanggungnya, tentu kita semua bersyukur. Namun, mari kita realistis, baru-baru ini saja pemerintah mengeluarkan surat edaran terkait efisiensi anggaran. Bukankah ini kontradiktif?  

Ironisnya, gubernur Jawa Barat terpilih Dedi Mulyadi memberikan dua opsi terhadap sekolah swasta yang sampai saat ini masih merasa keberatan. Pertama, pemerintah daerah akan melanjutkan penyaluran bantuan dana untuk sekolah melalui Bantuan Pendidikan Umum Universal (BPMU) sebagaimana yang sudah berjalan. Kedua, pemerintah akan menyetop penyaluran dana untuk sekolah, dialihkan kepada beasiswa masyarakat miskin.

Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved