Tukang Bully Punya Ukuran Otak Lebih Kecil dari Otak Normal, Berkaitan dengan Perilaku Antisosial

Sebuah tim ahli saraf dari University College London, yang dipimpin oleh Christina Carlisi, menggunakan teknologi MRI untuk memindai otak 652 peserta.

shutterstock via kompas.com
Ilustrasi bully di sekolah. 

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Perundungan atau bullying bukan hanya masalah sosial atau sikap perilaku, tetapi juga bisa jadi terkait dengan kondisi biologis.

Orang-orang yang suka mem-bully ternyata memiliki kelainan, yakni punya otak yang berukuran lebih kecil jika dibandingkan otak orang yang tidak pernah mem-bully.

Hal ini dikonfirmasi oleh hasil sebuah studi internasional yang menemukan perbedaan mencolok pada otak para pelaku perundungan atau bullying ini. Temuan ini menjadi salah satu sorotan dalam riset terkait perilaku antisosial.

Sebuah tim ahli saraf dari University College London, yang dipimpin oleh Christina Carlisi, menggunakan teknologi MRI untuk memindai otak 652 peserta.

Studi yang dipublikasikan di jurnal bergengsi The Lancet ini mengungkap fakta mengejutkan: pelaku perundungan yang terus-menerus, memiliki otak yang lebih kecil secara fisik dibandingkan mereka yang tidak terlibat dalam perilaku tersebut.

"Temuan kami mendukung gagasan bahwa, untuk sebagian kecil individu dengan perilaku antisosial yang terus-menerus sepanjang hidup, mungkin ada perbedaan dalam struktur otak mereka yang membuat mereka sulit mengembangkan keterampilan sosial yang mencegah mereka terlibat dalam perilaku antisosial, kata Carlisi dilansir National Geographic Indonesia.

Para peneliti mencatat perbedaan signifikan pada korteks pelaku perundungan, yang ditemukan jauh lebih tipis. Selain itu, luas permukaan otak mereka juga lebih kecil dibandingkan peserta lainnya.

Studi ini menyoroti perilaku seperti mencuri, agresi, merundung, berbohong, hingga kegagalan dalam tanggung jawab sosial sebagai indikator perilaku antisosial kronis.

Perilaku ini ternyata berhubungan dengan kelainan fisik pada otak, khususnya pada individu yang terus melakukan perundungan sepanjang hidup mereka.

Namun, ada pengecualian menarik dalam hasil penelitian ini: pelaku perundungan yang berhenti di usia dewasa tidak menunjukkan kelainan serupa. Struktur otak mereka tampak sama dengan individu yang tidak pernah melakukan perundungan.

"Orang-orang yang menunjukkan perilaku antisosial terutama pada masa remaja, tetapi tidak saat dewasa, tidak menunjukkan perbedaan struktural otak," jelas Carlisi. Hal ini memberikan kabar baik bagi mereka yang ingin bertaubat.

Sebagian besar perilaku antisosial pada remaja diperkirakan terjadi akibat masa sulit dalam bersosialisasi. Untungnya, banyak dari mereka yang mampu keluar dari fase ini dan menjadi individu yang berkontribusi positif bagi masyarakat.

Carlisi menambahkan, "Orang-orang ini juga yang umumnya mampu bertaubat dan menjadi anggota masyarakat yang berharga."

Meskipun temuan ini memberikan wawasan baru, masih ada tanda tanya besar yang perlu dijawab: apakah otak yang lebih kecil menyebabkan seseorang menjadi pelaku perundungan, atau sebaliknya, perilaku perundungan menyebabkan perubahan pada struktur otak?

Pertanyaan ini masih menjadi fokus penelitian lanjutan. Namun, hasil riset ini memberikan gambaran bahwa perundungan tidak hanya soal moralitas atau sosial, tetapi juga melibatkan aspek biologis yang lebih kompleks.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved