DPR RI Akali Putusan MK Sebagai Keganjilan Demokrasi, Pengamat: Membuat Masyarakat Tak Percaya

Apa yang sudah menjadi putusan MK tidak lagi diotak atik untuk kepentingan karena terkesan ada sesuatu yang sedang dilakukan.

TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Suasana rapat kerja dengan Badan Legislasi DPR terkait pembahasan RUU Pilkada di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (21/8/2024). 

Laporan Wartawan Tribun Jabar, Hilman Kamaludin

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Pengamat Politik dari Universitas Jenderal Ahmad Yani (Unjani), Arlan Siddha, angkat bicara terkait langkah DPR RI yang berupaya mengakali putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal ambang batas atau threshold pencalonan kepala daerah.

Diketahui, Panitia Kerja (Panja) revisi UU Pilkada Badan Legislasi (Baleg) DPR RI mengakali putusan MK dengan membuat pelonggaran threshold itu hanya berlaku buat partai politik yang tak punya kursi DPRD.

Sedangkan MK sudah memutuskan threshold pencalonan kepala daerah tidak lagi sebesar 25 persen demi menghindari demokrasi yang tak sehat karena threshold versi Undang-undang Pilkada rentan memunculkan calon tunggal.

Baca juga: Fraksi PDIP Menolak Pembahasan Revisi UU Pilkada yang Sudah Ditetapkan MK, Nurdin Sebutkan Alasannya

"Harusnya menghormati apa yang menjadi putusan MK, dalam konteks dejure terkait putusan Pilkada harusnya dihormati, kemudian dilaksanakan dan dijalankan. Apalagi dengan waktu yang lumayan mepet," ujar Arlan saat dihubungi, Rabu (21/8/2024) malam.

Atas hal tersebut, kata Arlan, apa yang sudah menjadi putusan MK tidak lagi diotak atik untuk kepentingan karena terkesan ada sesuatu yang sedang dilakukan atau dijalankan untuk melakukan amputasi demokrasi.

"Artinya kan ini seolah-olah sedang melakukan amputasi demokrasi, memotong dan memangkas demokrasi. Seharusnya apa yang sudah menjadi putusan MK tidak mudah dianulir walaupun secara aturannya memang ada," katanya.

Baca juga: Uher Suherman Batal Mundur Sebagai Kades Sukaluyu, Cabut Surat Pengunduran Diri dengan Alasan Ini

Arlan mengatakan, MK dan DPR RI ini merupakan dua lembaga besar yang menjadi trust masyarakat. MK sebagai pemutus putusan yang janggal dalam konteks hukum, sementara DPR RI merupakan wakil rakyat.

"Ini menurut saya dua konsep yang harusnya tidak lagi dipermainkan karena efek domino sudah mulai terasa misalnya di sosial media muncul peringatan darurat," ucap Arlan.

Dengan munculnya peringatan darurat ini, kata dia, artinya ada sebuah gerakan sosial yang menunjukkan bahwa ada ketidaksepakatan atau keganjilan ketika menjalankan demokrasi.

"Jadi seharusnya sinyal-sinyal ini bisa ditangkap oleh para penguasa bahwa masyarakat sudah untrust atau sudah tidak percaya," katanya.

Sumber: Tribun Jabar
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved