Muhibah Budaya Jalur Rempah 2024
Hari Kelima: Memasuki Aceh, Ketika Kapal Menganggung-angguk tanpa Jeda dan Para Peserta tak Berdaya
Benar seperti yang dikatakan awak kapal semalam, ketika kapal Dewaruci memasuki wilayah Aceh, anginnya lebih kencang dan ombaknya lebih besar.
Penulis: Hermawan Aksan | Editor: Hermawan Aksan
Laporan Wartawan Tribunjabar.id Hermawan Aksan
HARI kelima Muhibah Budaya Jalur Rempah 2024, Jumat, 21 Juni, ditandai dengan sejumlah kejadian yang menyedihkan, atau mungkin memalukan, khususnya bagi saya sendiri.
Benar seperti yang dikatakan awak kapal semalam, ketika kapal Dewaruci memasuki wilayah Aceh, anginnya lebih kencang dan ombaknya lebih besar. Kalau di hari sebelumnya saya bisa menikmati anggukan-anggukan kapal karena ombak, pada hari ini saya mulai kena pengaruh, terutama di kepala.
Akibat angin kencang dan ombak besar, kapal terus-menerus bergoyang lebih keras daripada kemarin. Nyaris tidak ada jeda yang membuat kapal melaju tenang, apalagi jika dibandingkan dengan di hari pertama membelah laut.
Akibat berikutnya, banyak peserta MBJR 2024, baik Laskar Rempah maupun tim pendukung, yang tumbang: mabuk laut dan muntah-muntah. Saya termasuk di antaranya.
Baca juga: Hari Pertama: Dari Bumiayu Menuju Dumai, sebelum Pelayaran Panjang hingga ke Malaka Malaysia
Kondisi saya boleh jadi dipengaruhi juga oleh situasi beser yang saya alami tadi malam. Saya harus buang air kecil tiga kali pada sekitar pukul 23.00, pukul 00.00, dan pukul 01.00. Padahal, perjalanan untuk buang air kecil itu merupakan perjuangan yang ekstrakeras. Dari tempat tidur, saya harus naik tangga yang curam, belok kiri atau kanan melewati dapur atau lounge (ruang makan), belok kanan atau kiri, lalu masuk ke kamar mandi.
Goyangan kapal membuat proses buang air kecil pun menjadi kesulitan tersendiri. Bisa dibayangkan, lah, bagaimana tingkat kesulitannya.
Akibat berkali-kali buang air kecil itu, kualitas tidur saya boleh dikatakan buruk. Pening kepala makin terasa.
Meskipun demikian, saya tetap bangun pukul setengah lima, memenuhi panggilan alam, lalu mengambil air wudu. Setelah itu, saya naik ke geladak utama di atas, untuk mengikuti salat Subuh berjemaah. Saat salat itulah terasa kuda-kuda kaki saya goyah. Hanya dengan upaya keras saya tidak sampai terjerembap atau terjengkang.
Baca juga: Hari Kedua: Pembekalan Berharga sebelum Membelah Laut dengan Kapal Dewaruci
Kondisi badan yang macam itu ternyata tidak membuat saya merasa lapar. Meski begitu, saya memaksakan diri untuk sarapan. Dengan lauk yang hampir sama dengan kemarin, sayur dan telur dadar, sebenarnya, dalam kondisi sehat, saya yakin makanannya enak. Namun, setelah suap demi suap, walaupun dengan porsi yang lebih sedikit daripada biasanya, makanan itu terasa seret masuk ke kerongkongan. Dan ternyata saya tidak sendirian, Beberapa rekan peserta pun kelihatan kepayahan menghabiskan makanan mereka.
Kemudian terjadilah peristiwa yang memalukan itu.
Sebenarnya, saya beranjak menuju kamar mandi dengan niat buang air kecil. Masih terasa beser sisa semalam. Namun, sesaat setelah buang air, tanpa tanda-tanda sebelumnya, mulut saya memuntahkan kembali makanan yang baru saya santap. Tidak hanya sekali, tapi tiga kali. Saya menduga makanan sarapan saya sudah keluar lagi, masuk ke lubang buang air, dan mencebur ke laut.
Setelah muntah-muntah, kondisi tubuh saya menjadi lebih enak, lalu saya memutuskan untuk tiduran. Saat kondisi badan terasa lebih enak, saya membawa laptop ke geladak atas, dengan maksud mengirim tulisan. Rekan-rekan mengabarkan bahwa sinyal internet sedang kuat.
Baca juga: Hari Ketiga: Meninggalkan Dumai, Membelah Laut, dan Kehilangan Sinyal Internet
Saat itu kapal sedang melewati Lhokweumawe, Provinsi Aceh, yang daratannya kelihatan lebih dekat. Namun, sesampai saya di atas, sinyal melemah lagi sehingga saya gagal bahkan hanya untuk melihat pesan WhatsApp.
Saat itulah sejumlah peserta MBJR 2024 dan awak kapal berlarian ke haluan. Saya sempat kaget: ada apa gerangan? Mereka memasang kamera masing-masing sambil bertumpu di pagar. Saya juga ikut mendekat. Ternyata beberapa ekor ikan lumba-lumba berenang dan kadang berloncatan ke atas permukaan air laut. Ada yang seekor, ada yang dua ekor meloncat secara bersamaan. Sejumlah orang berhasil menangkap gambar ikan lumba-lumba itu. Saya termasuk yang bernasib nahas. Ponsel saya habis baterai.
Hari Ke-20: Hari Terakhir Muhibah Budaya Jalur Rempah, Tangis Kembali Tumpah |
![]() |
---|
Hari Ke-19: Pagi Terakhir di KRI Dewaruci dan Malam Pembukaan Festival Raja Ali Haji |
![]() |
---|
Hari Ke-18: Lego Jangkar di Tanjung Uban, Tangis Peserta Muhibah pada Malam Terakhir di KRI Dewaruci |
![]() |
---|
Hari Ke-17: Mencium Udara Hari Terakhir di Malaka dan Melanjutkan Muhibah ke Tanjung Uban |
![]() |
---|
Hari Ke-16: Jumpa Sahabat di Malaysia, Kunjungi Masjid Selat Melaka, dan Hadiri Farewell Dinner |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.