Ninik Rahayu: Revisi UU Penyiaran Bakal Mengancam Demokrasi dan Memberangus Kebebasan Pers 

Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, mengatakan upaya memberangus pers di Indonesia bukan kali pertama terjadi.

Tribun Jabar/ Muhamad Syarif Abdussalam
Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, mengatakan upaya memberangus pers di Indonesia bukan kali pertama terjadi. 

 Laporan Wartawan TribunJabar.id, Muhamad Syarif Abdussalam

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Revisi Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang saat ini tengah digodok di Badan Legislasi DPR RI, dinilai sebagai upaya kesekian kalinya dalam memberangus kebebasan pers di Indonesia.

Hal ini pun dinilai akan membahayakan demokrasi dan semangat reformasi di Indonesia, saat hak warga negara untuk mengetahui dan berbicara begitu dibelenggu.

Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, mengatakan upaya memberangus pers di Indonesia bukan kali pertama terjadi.

Sebelumnya, hal serupa dilakukan saat perancangan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dan UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

"Ini upaya memberangus pers kita. Ini bukan pertama kali lho. Coba perhatikan, pada 2017 melalui UU Pemilu, lalu melalui UU Cipta Kerja yang melarang penyiaran pemberitaan. Lalu draf UU penyiaran."

"Jadi ini bukan pertama kali upaya untuk meminggirkan peran pers dalam pemberitaan berkualitas," kata Ninik di sela Workshop Peliputan Pemilu/Pilkada 2024 di Kota Bandung, Kamis (16/5/2024).

Ia pun menemukan kesinambungan upaya-upaya pemberangusan pers melalui draf-draf undang-undang sebelumnya.

Hal itu dapat dilihat dari UU Pemilu, UU Cipta Kerja, UU KUHP, dan sekarang draf UU Penyiaran.

"Maka kalau tiga ini berhasil kita tolak, KUHP baru kita hanya diakomodasi 1 ya padahal ada 2 pasal, dan ada 14 pasal dan perlu diperhatikan, dan 2 yang harus diperhatikan, maka ini adalah ada oknum yang sengaja menurut saya, dari otaknya udah berfikir untuk mengebiri pers kita," katanya.

Ninik pun mengatakan draf revisi UU Penyiaran untuk saat ini masih sangat berbahaya untuk demokrasi di Indonesia.

Kelahiran UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers diawali komitmen pada peletakan hak untuk mengetahui dan hak berbicara di Undang-undang Dasar. 

"Dan itu ada di konsiderat Undang-undang 40 tahun 1999. Maka ketika ini dikeluarkan dari Undang-undang Penyiaran dan diturunkan dalam pasal yang melarang tadi, maka ini adalah kemunduran karena mengembalikan fungsi pers pada masa orde baru," katanya.

Ia mengatakan dalam draf revisi tersebut banyak sekali yang memberatkannya, setidaknya ada tiga pasal yang perlu perhatian, yakni Pasal 48, 58, dan 127. Juga Pasal 8 dan 30.

Ninik mengatakan Dewan Pers dan seluruh konstituennya dua hari lalu sudah menyampaikan pandangannya mengenai Draf Revisi UU Penyiaran. Pihaknya tegas menolak.

Sebab dari sisi prosesnya memang tidak transparan karena tidak melibatkan Dewan Pers yang berkaitan dengan UU tersebut.

"Pihak yang dihadirkan itu salah satunya tidak melibatkan Dewan Pers, atau konstituen Dewan Pers, insan pers yang terkait dengan jurnalistik. Padahal di dalam draf RUU Penyiaran ini secara langsung mengatur soal produk jurnalistik. Ini artinya soal transparansi menjadi isu yang paling krusial yang perlu dipertanyakan," katanya.

Ia menyontohkan dalam draf UU tersebut tidak hanya akan memengaruhi pers, tapi ada bagian penting, yakni hak warga masyarakat untuk tahu. Hal ini diatur di dalam pasal 18 F dan hak berbicara dan berpendapat yang menjadi modalitas utama Undang-Undang 40 tahu 1999 yang diatur di pasal 28 F.

"Itu adalah hak konstitusional dari warga negara yang harus diperjuangkan sekarang oleh teman-teman pers. Karena bisa jadi masyarakat tidak tahu kalau ini akan berdampak langsung implikasinya kepada mereka," katanya.

Ninik pun mengatakan secara terbuka sudah disampaikan bahwa Dewan Pers akan menyoal hal tersebut. Tanpa diundang pun Dewan Pers akan minta untuk bertemu membicarakan hal ini.

"Bapak Presiden Joko Widodo bahkan menghormati pers. Itulah kenapa kemudian mengeluarkan Perpres 32 tahun 2024 tentang keinginan agar perusahaan platform memberikan dukungan pada hasil karya jurnalistik yang berkualitas."

"Itu artinya pemerintah itu menghormati karya jurnalistik berkualitas. Lah kenapa di draf RUU Penyiaran ini melarang media menyiarkan jurnalistik investigatif. Jurnalistik investigatif itu adalah mahkota dari kerja kerja jurnalistik," katanya. (*)

Sumber: Tribun Jabar
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved