Perpol Baru Dinilai Ancam Kebebasan Pers: Jurnalis Asing Terancam Birokrasi Represif

Di mata KKJ, aturan ini tidak hanya melewati batas wewenang institusi kepolisian, tapi juga mengancam nilai-nilai dasar demokrasi dan kebebasan pers.

THINKSTOCKPHOTOS via Kompas.com
Ilustrasi kebebasan pers. Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ), koalisi yang terdiri dari 11 organisasi pers dan masyarakat sipil, menyatakan penolakan tegas terhadap Peraturan Kepolisian (Perpol) Nomor 3 Tahun 2025 tentang Pengawasan Terhadap Orang Asing yang disahkan pada 10 Maret 2025. 

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Langkah Kepolisian Republik Indonesia yang merilis Peraturan Kepolisian (Perpol) Nomor 3 Tahun 2025 tentang Pengawasan Terhadap Orang Asing menuai sorotan tajam dari berbagai pihak.

Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ), koalisi yang terdiri dari 11 organisasi pers dan masyarakat sipil, menyatakan penolakan tegas terhadap regulasi yang disahkan pada 10 Maret 2025 tersebut.

Di mata KKJ, aturan ini tidak hanya melewati batas wewenang institusi kepolisian, tapi juga mengancam nilai-nilai dasar demokrasi dan kebebasan pers di Indonesia.

Salah satu pasal yang paling disoroti adalah kewajiban bagi jurnalis asing untuk memiliki Surat Keterangan Kepolisian (SKK) sebelum dapat menjalankan aktivitas peliputan di Tanah Air.

KKJ menilai kebijakan ini tidak selaras dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers serta Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

Kedua payung hukum tersebut secara jelas telah menetapkan bahwa perizinan kerja jurnalistik untuk jurnalis asing berada di bawah kewenangan Kementerian Komunikasi dan Digital, serta pengawasannya berada di tangan Dewan Pers.

Kerangka hukum yang sudah lama berjalan sebenarnya sudah cukup jelas. Mengacu pada PP Nomor 49 Tahun 2005 dan Permenkominfo RI Nomor 42/PER/M.KOMINFO/10/2009, perizinan lembaga penyiaran asing dan jurnalis internasional untuk meliput di Indonesia berada dalam ranah Kementerian Komunikasi dan Informatika, bukan Kepolisian.

Dewan Pers juga memegang peran sentral dalam pengawasan kerja-kerja jurnalistik melalui keanggotaannya yang terdiri dari perwakilan insan pers dan masyarakat sipil.

Pengambilalihan otoritas yang dilakukan oleh Polri melalui Perpol 3/2025 dianggap KKJ sebagai bentuk pelemahan sistemik terhadap kerja jurnalistik yang independen.

Selain itu, keberadaan peraturan ini dikhawatirkan menciptakan ketidakpastian hukum dan membuka ruang penyalahgunaan wewenang, khususnya dengan dalih penertiban aktivitas ilegal yang bisa jadi hanya ditujukan untuk menghalangi kerja pers.

Karena itu, KKJ menyuarakan beberapa alasan penolakan terhadap Perpol ini, antara lain:

  • Perpol 3/2025 dinilai bertentangan dengan prinsip kebebasan pers yang dijamin oleh konstitusi dan UU Pers, serta berisiko memperpanjang proses birokrasi kerja jurnalistik bagi jurnalis dalam dan luar negeri.
  • Regulasi ini membuka potensi tumpang tindih kewenangan antara Polri dengan lembaga yang selama ini memiliki mandat hukum, yakni Kementerian Komunikasi dan Digital serta Dewan Pers.
  • Proses penyusunan Perpol dianggap tidak partisipatif karena mengabaikan pelibatan lembaga-lembaga terkait seperti Dewan Pers, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dan organisasi-organisasi jurnalis.
  • Regulasi ini juga dianggap berpotensi membatasi atau bahkan melanggar hak masyarakat atas informasi yang semestinya dijamin secara konstitusional.

Berdasarkan hal-hal tersebut, KKJ mendesak Kapolri segera mencabut Pasal 5 Ayat (1) dari Perpol No. 3 Tahun 2025 yang mewajibkan SKK bagi jurnalis asing. Pemerintah Indonesia diminta untuk tidak lagi mengeluarkan peraturan yang dapat membungkam kerja-kerja jurnalistik dan kebebasan pers.

KKJ pun mendesak proses penyusunan kebijakan terkait kebebasan berekspresi dan hak atas informasi harus melibatkan partisipasi publik secara terbuka. Seluruh elemen masyarakat diajak untuk bersama-sama menolak Perpol ini demi mempertahankan kemerdekaan pers dan menjaga demokrasi dari upaya pelemahan.

KKJ menilai keberadaan Perpol ini merupakan langkah mundur yang mengancam upaya kolektif dalam membangun pers yang bebas, independen, dan berintegritas di Indonesia.

Komite Keselamatan Jurnalis sendiri dideklarasikan pada 5 April 2019 di Jakarta. KKJ beranggotakan 11 organisasi pers dan masyarakat sipil, di antaranya Aliansi Jurnalis Independen (AJI), LBH Pers, SAFEnet, IJTI, YLBHI, AMSI, FSPMI, Amnesty International Indonesia, SINDIKASI, PWI, dan Pewarta Foto Indonesia (PFI).

Koalisi ini dibentuk untuk merespons meningkatnya kekerasan terhadap jurnalis dan untuk memperjuangkan keamanan serta kebebasan pers di Indonesia.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved