Penanganan Epilepsi Dari Sisi Bedah Saraf

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Sobat Tribuners, kondisi kejang yang tidak terkendali akibat terjadinya gangguan pada aktivitas sel saraf otak atau disebut

Penulis: Cipta Permana | Editor: bisnistribunjabar
Istimewa
Penanganan Epilepsi Dari Sisi Bedah Saraf 

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Sobat Tribuners, kondisi kejang yang tidak terkendali akibat terjadinya gangguan pada aktivitas sel saraf otak atau disebut epilepsi atau ayan, kerap dianggap sebagai penyakit menular bahkan kondisi yang tidak dapat disembuhkan.

Dalam beberapa kasus, seseorang yang mengidap epilepsi kerap dikucilkan, karena dianggap sebagai aib di masyarakat bahkan lingkungan keluarga.

2 Penanganan Epilepsi Dari Sisi Bedah Saraf
Dokter Spesialis Bedah Saraf SANTOSA HOSPITAL BANDUNG KOPO, Bandung, dr. Arief Setia Handoko, Sp.BS

Namun tahukah Anda, bahwa penderita dengan gangguan epilepsi sebenarnya dapat disembuhkan, bahkan dengan penanganan yang tepat, pasien tersebut dapat kembali beraktivitas secara normal seperti pada umumnya.

Dokter Spesialis Bedah Saraf SANTOSA HOSPITAL BANDUNG KOPO, Bandung, dr. Arief Setia Handoko, Sp.BS menjelaskan, epilepsi merupakan kumpulan gejala bangkitan atau kejang berulang.

Kejang epilepsi disebabkan karena perubahan renjatan kelistrikan yang tidak normal pada dinding sel-sel saraf di otak.

"Penyebab timbulnya kejang epilepsi terutama adalah perubahan renjatan kelistrikan yang tidak normal pada dinding sel-sel saraf, terutama sel-sel saraf di permukaan otak (kortikal)," ujarnya Senin (15/5).

dr. Arief menuturkan, gejala penderita epilepsi terbagi dalam dua bentuk kejang, yakni Kejang Generalisata dan Kejang Parsial. Hal tersebut dibedakan pada kondisi kejang yang lebih sering terjadi.

Dokter Spesialis Bedah Saraf SANTOSA HOSPITAL BANDUNG KOPO,
Logo SANTOSA HOSPITAL BANDUNG KOPO

Kejang Generalisata terjadi pada semua sisi tubuh. Sedangkan, Kejang Parsial terjadi hanya bagian-bagian tubuh tertentu dengan atau keterlibatan perubahan tingkat kesadaran.

Kejang epilepsi juga dapat dipicu oleh berbagai faktor, seperti hipoksia (kurangnya asupan oksigen ke otak), hipoglikemia (kurangnya kadar glukosa dalam darah), stres berlebihan, dehidrasi dengan ketidakseim-bangan kadar elektrolit tubuh, dan perubahan suhu tubuh yang drastis.

Menurutnya, kondisi kejang pada epilepsi juga dapat dipengaruhi oleh adanya kelainan atau gangguan pada bagian tubuh lainnya, diantaranya mengalami cedera otak traumatika Infeksi atau peradangan otak atau selaput otak; Tumor; Perdarahan spontan (stroke); Hidrosefalus; Autoimun; dan Kelainan otak primer lainnya.

Terkait apakah epilepsi dapat disebabkan oleh faktor keturunan, dr. Arief menjelaskan bahwa faktor genetik dapat menjadi penyebab seseorang menderita epilepsi.

Bahkan, menurut University Medicine Chicago, sekitar 30-40 persen, beberapa tipe epilepsi terjadi karena genetik sebagai faktor predisposisinya.

"Berdasarkan data tersebut, bahwa epilepsi dapat diturunkan ke generasi/keturunan selanjutnya, yang akan muncul gejala apabila ada faktor pencetusnya," ucapnya.

Meski demikian, sebagian besar kejang epilepsi tidak diketahui pencetusnya. Namun, terdapat beberapa kondisi pada penderita epilepsi merasakan atau mengalami keluhan somatik beberapa jam sebelum serangan.

"Beberapa kasus, keluhan dari penderita epilepsi, umumnya merasakan nyeri kepala berdenyut yang memberat, muncul kilat-kilat cahaya pada penglihatan, mual disertai nyeri perut di daerah sekitar pusar yang meluas, atau keluhan-keluhan sensoris seperti sensasi rasa kebas, rasa panas, atau ditusuk-tusuk pada satu sisi tubuh. Hal-hal tersebut, lanjutnya bisa disebut sebagai 'Aura'," ujar dr. Arief.

Sebagai upaya penanganan, pada penderita epilepsi yang sudah terdiagnosis, akan memperoleh pengobatan baik berupa medikamentosa atau pilihan tindakan pembedahan.
"Penderita epilepsi yang memperoleh pengobatan medikamentosa dianjurkan mengkonsumsi teratur obat-obatan anti-epilepsi sesuai anjuran dokter, untuk mencegah kejang berlanjut," ucapnya.

Sedangkan, pada penderita kejang epilepsi yang memerlukan perhatian khusus, adalah yang berstatus epilepticus, yaitu terjadinya episode kejang berulang dalam tempo waktu yang dekat dan lebih dari 10 menit yang disertai dengan penurunan kesadaran.

Dimana kejang berulang tersebut, menurutnya terjadi setelah kejang sebelumnya tanpa ada perbaikan tingkat kesadaran pasien.

Pada kondisi serangan kejang, sel-sel otak terjadi penurunan kadar oksigen dan metabolisme, yang kemudian akan terjadi kerusakan otak. Kondisi kejang berulang dengan jarak antar kejang yang pendek, memperberat kondisi penderita, dan dapat menyebab-kan kematian.

Sehingga status epilepticus merupakan kondisi gawat darurat yang memerlukan penanganan cepat dan baik.

dr. Arief menegaskan bahwa, pada dasarnya semua kondisi pasien epilepsi dapat disembuhkan. Upaya tersebut, diantaranya pemberian obat-obat anti-epilepsi (medikamentosa) yang bertujuan untuk mengontrol bangkitan/episode kejang dan mencegah terjadinya status epilepticus.

"Terkait pemilihan terapi pada epilepsi disesuaikan dengan penyebab kejang, tipe kejang, dan riwayat penyakit lainnya pada pasien, termasuk riwayat pengo-batan epilepsi sebelumnya. Termasuk, pengobatan epilepsi menggunakan medikamentosa atau tindakan pembedahan, dimana tujuannya adalah untuk memper-baiki kualitas hidup pasien kedepannya," ujarnya.

Salah satu penanganan epilepsi adalah dengan pembedahan saraf pada penderita.

Pertimbangan tindakan pembedahan dianjurkan untuk dipilih, apabila pengobatan medikamentosa yang gagal mengatasi kejang.

Pertimbangan tersebut dimaksudkan apabila dengan penanganan medikamentosa, yaitu pemberian obat-obat anti-epilepsi lebih dari dua jenis, dan atau pengobatan anti-epilepsi selama 1 - 2 tahun tidak memberikan perubahan signifikan.

"Dalam hal ini dibantu dengan data-data pemeriksaan MRI otak dan rekam otak (EEG), disertai bukti riil berupa video saat penderita kejang," ujarnya.

dr. Arief menuturkan, pembedahan saraf pada penderita epilepsi menjadi keunggulan dari SANTOSA HOSPITAL BANDUNG KOPO .

Penanganan tersebut, dapat dilakukan mulai dari pemeriksaan awal, pemeriksaan penunjang (CT scan otak, MRI otak, EEG), dan pengobatan komprehensif oleh dokter spesialis anak, dokter spesialis saraf, dokter spesialis bedah saraf, dan dokter spesialis kedokteran fisik-rehabilitasi medik.

Selain pengobatan medikamentosa, penanganan operatif atau pembedahan dapat dilakukan di SANTOSA HOSPITAL BANDUNG KOPO, Bandung yang meliputi persiapan dan skrining pasien epilepsi; operasi secara bedah mikro (penggunaan mikroskop khusus bedah saraf); pemantauan fungsi dan gelombang saraf intra-operatif (IOM = intraoperative monitoring); perawatan paska-operatif (HCU/ICU); dan rehabilitasi medik.

Menurutnya, pasien yang menderita kejang berulang dengan kondisi status epilepticus, sebaiknya perlu penanganan cepat dan terbaik, sehingga lebih baik mendapatkan pelayanan di IGD SANTOSA HOSPITAL BANDUNG KOPO.

Namun, apabila pasien dengan kondisi kejang berulang dengan tingkat kesadaran dan keadaan umum yang masih baik, dapat datang untuk dilakukan pemeriksaan awal dan pemerik-saan penunjang di Poliklinik Bedah Saraf di Lantai 3 gedung A SANTOSA HOSPITAL BANDUNG KOPO.

"Untuk mendapatkan pelayanan tersebut, Kami (SANTOSA HOSPITAL BANDUNG KOPO) melayani pasien umum atau asuransi atau BPJS," tegasnya.

Pemeriksaan awal dan penunjang, lanjutnya dimaksudkan untuk menge-tahui riwayat kejang dan atau pengobatan kejangnya. Selain itu, pemeriksaan tersebut dimaksudkan juga untuk penapisan (skrining) penderita kejang epilepsi yang memiliki gangguan metabolik berat, atau kelainan jantung-paru atau organ lain yang bersifat menambah resiko pengobatan medikamentosa atau tindakan pembedahan.

dr. Arief menambahkan, keunggulan dari penanganan epilepsi di bedah saraf SANTOSA HOSPITAL BANDUNG KOPO adalah proses pemulihan yang relatif singkat.
Namun, hal tersebut, tergantung kondisi pasien saat skrining awal, usia pasien, awal penanganan epilepsi yang mulai diberikan, dan kondisi kelainan anatomi otak penyebab epilepsi.

Pasien-pasien yang telah merasakan manfaat paska operasi di SANTOSA HOSPITAL BANDUNG KOPO, biasanya hanya memerlukan proses perawatan selama 3-5 hari rawat inap.
Jika kondisi dinilai telah stabil, maka diperboleh-kan pulang rawat dan kontrol rutin di Poliklinik Bedah Saraf.

"Sejauh ini, semua pasien yang telah menjalani penanganan, bebas kejang paska operasi. Sebagai contoh pasien kami yang paling cepat pemulihan adalah Wanita 24 tahun dengan epilepsi generalisata, yang sudah menjalani pengobatan medikamentosa selama empat tahun, dengan tindakan pembedahan dan lama rawat tiga hari," ujarnya.

"Syukur-Alhamdulillah, Pasien dapat pulang dengan perbaikan dan bebas kejang paska operasi, sehingga dapat menjalani kehidupan dan pekerjaannya sebagai karyawan jauh lebih baik lagi," tambahnya.

Untuk layanan konsultasi penanganan epilepsi di SANTOSA HOSPITAL BANDUNG KOPO, pasien dapat menemui salah satu dari enam orang tim bedah saraf di Poliklinik Bedah Saraf Rumah Sakit Santosa Kopo.

Sedangkan, untuk jadwal praktek, dr. Arief Setia Handoko, Sp.BS di SANTOSA HOSPITAL BANDUNG KOPO, yaitu setiap Senin dan Kamis pukul 12.00 sampai 18.00 WIB.
Serta hari Sabtu, pukul 10.00 sampai 13.00 WIB.

Sedangkan, untuk jadwal pelayanan rawat inap, dilakukan pada Senin hingga Sabtu.

Sementara, untuk pelayanan konsultasi Gawat Darurat, menyesuai-kan jadwal. (Cipta Permana)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved