Soal Zat Kimia Berbahaya di Kemasan, Pakar Hukum UI Sebut Perlu Kajian Ilmiah Sebelum Buat Kebijakan

Untuk menyatakan zat-zat kimia yang ada dalam kemasan pangan berbahaya atau tidak bagi kesehatan harus ada kajian ilmiah terlebih dahulu...

Editor: Dicky Fadiar Djuhud
DOk Tribun Jabar
Illustrasi. Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) Bandung menyita sejumlah produk ilegal dan berbahaya. 

TRIBUNJABAR.ID - Pakar hukum dan kebijakan publik Universitas Indonesia (UI), Ima Mayasari, mengatakan untuk menyatakan zat-zat kimia yang ada dalam kemasan pangan berbahaya atau tidak bagi kesehatan harus ada kajian ilmiah terlebih dahulu terkait potensi berbahaya dari zat-zat tersebut.

Selain itu, juga diperlukan pandangan dari para pakar yang profesional di bidangnya yang mengatakan adanya potensi bahaya tersebut.

"Dalam konteks kesehatan itu harus ada kajian ilmiah terlebih dahulu dengan potensi bahaya dari zat-zat tersebut. Dalam konteks ini kan perlu dilakukan kajian terlebih dahulu untuk mengetahui dari faktor resikonya," ujar Ima.

Baca juga: DITEMUKAN 3 Zat Kimia Berbahaya pada Balita Gagal Ginjal Akut di Indonesia Termasuk Etilen Glikol

Dari kajian-kajian setelah melalui penelitian dan lain sebagainya, lanjutnya, barulah kemudian dipertimbangkan apakah kemudian aturan-aturan yang ada itu sudah memenuhi atau sudah atau atau tidak.

"Kalau kemudian dampaknya itu berbahaya bagi kesehatan masyarakat dan itu belum ada pengaturannya. Itu yang harus harus disesuaikan dari regulasinya. Tapi, basisnya adalah tetap kajian berbasis resiko yang harus dilakukan terlebih dahulu,” ucapnya.

Jadi, dalam keterangan tertulis yang diterima, Rabu (1/3/2023), menurut Ima Mayasari, semua itu harus melalui penelitian. Hal itu juga merujuk kepada yang namanya sekarang ini era kebijakan yang berbasis risiko. “Jadi, harus dilakukan kajian dan meminta pandangan-pandangan dari para ahli untuk mencari literatur-literatur terlebih dahulu sebelum melakukan kajian ilmiah,” katanya.

Sebelumnya, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan Pakar Hukum Persaingan Usaha, Prof Ningrum Natasya Sirait, meminta agar regulator tidak hanya membuat kebijakan dengan melihat sisi kesehatan saja. Tapi harus juga memperhatikan dampaknya terhadap potensi terjadinya persaingan usaha.

Dalam hal kebijakan BPOM, itu harus merujuk kepada Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 yang sudah diubah ke UU Nomor 15 tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Baca juga: Tak Cuma Bantu Jaga Kesehatan, Berikut Pentingnya Sarapan untuk Anak

Artinya, kata Ningrum, dalam merevisi atau membuat sebuah kebijakannya, BPOM harus melakukannya berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik.

Meliputi kejelasan tujuan, kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan, dapat dilaksanakan serta memiliki kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan, dan keterbukaan.

Selain itu, materi muatannya juga harus mencerminkan asas pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, bhinneka tunggal ik, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum, keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

"Jadi, membuat peraturan itu nggak bisa sembarangan. Ada naskah akademiknya, ada penelitiannya, dengar pendapatnya, tidak gampanglah pokoknya," kata Ningrum. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved